
Godaan Maut Ipar Ku
“Malam ini kamu kuat banget, Bay.”
Pria berkumis serta berjambang tipis itu menoleh seraya tersenyum.
“Kamu suka ‘kan, Mbak?” sahutnya, mengerlingkan sebelah mata, menggodaku.
Ini adalah malam ketiga aku dan Bayu saling berbagi. Ya, berbagi sesuatu yang seharusnya tidak kami lakukan.
Aku tahu ini dosa, tapi mau bagaimana lagi. Aku menikmati setiap sen#tuh#an dari adik iparku itu. Sentuhannya membuatku candu dan ingin terus melakukan lagi dan lagi. Apalagi Mas Andi sering pergi ke luar kota untuk urusan kerja, sedangkan aku di rumah butuh belaian.
Semua berawal saat Bayu mulai menginap di rumah ini untuk magang di kantor Mas Andi. Sebagai seorang adik, tentu sang kakak menginginkan adiknya mendapatkan pekerjaan yang layak sama seperti dirinya.
“Nanti tinggallah di rumah Mas, Bay. Temani Mbak Angel, karena dia hanya sendiri di rumah ini. Apalagi Mas sering pergi ke luar kota,” kata Mas Andi saat kami berkunjung ke rumah mertua.
Aku dan Mas Andi sama-sama perantau di kota Jakarta. Aku dari kota Magelang dan Mas Andi dari kabupaten Magelang. Kami dipertemukan di sebuah perusahaan. Aku sebagai OB dan Mas Andi sebagai karyawan kantor. Perbedaan yang sangat mencolok di antara kami tak membuat gentar Mas Andi menikahiku. Pria itu begitu tulus mencintaiku sebagai istrinya. Tak memandang status kami yang berbeda
“Tapi, Dam, nggak ilok nek adekmu ming nang ngomah mbek Angel.” Samar-samar aku mendengar ibu mertua tak setuju dengan usul Mas Andi pagi tadi.
“Mbok, Bayu niku mpon ageng. Sampun paham ingkang becik lan mboten. Terus Mbok, ikut Bayu supoyo isoh sinambi kuliah. Mengko Andi seng nambahi biaya nek Bayu purun. Ben mbesok uripe Bayu iku kepenak. Golek gawean yo gampang.” Mas Andi menepuk bahu ibunya, mencoba membuatnya yakin jika semua akan baik-baik saja.
“Yo wes lah nek kowe yakin Le, Mboke yo ra isoh apa-apa. Isohe Mboke mung ndongakne seng apik- apik ge keluargamu. Mugo-mugo Bayu isoh dipercaya.”
“Amin, Mbok,” jawab Mas Andi tersenyum.
Namun, pada kenyataannya aku pun ikut berkhianat. Kadang merasa bersalah, tetapi mau gimana lagi. Aku nyaman dengan keadaan ini.
Setelah Mas Andi membujuk ibunya. Sore hari kami kembali ke Jakarta bersama dengan Bayu. Pria itu diminta tidur di kamar sebelah kami.
Awalnya aku tidak setuju Bayu tidur di samping kamar pribadi kami, aku takut jika Bayu bakal mendengar apa yang aku dan Mas Andi lakukan karena hanya terbatas tembok saja . Namun, Mas Andi tak menggubris. Katanya kalau tidur di kamar dekat dapur kasihan. Padahal di sana juga kamarnya bagus, bukan kamar spek pembantu. Sebab, ada kamar khusus untuk pelayan rumah, letaknya ada di belakang dapur.
Dua hari sudah bayu tinggal di sini. Dan pagi ini Mas Andi kembali pergi ke Bandung bersama bosnya untuk meninjau proyek mereka dan akan kembali 3 hari lagi.
“Dam, Mas titip Mbak Angel ya. Kalau dia butuh apa-apa tolong bantuin,” pesan Mas Andi sebelum dia pergi.
“Iya, Mas, siap,” jawab Bayu begitu semangat.
“Sayang, Mas berangkat dulu ya,” pamitnya dan seperti biasa mengecup kening, berpelukan dan mencium kedua pipiku sebelum pergi.
Ternyata adegan kami menjadi tontonan bagi Bayu. Saat aku kembali masuk rumah setelah mengantar Mas Andi di teras. Bayu senyam-senyum melihatku. Awalnya aku risih dengan sikapnya, tetapi aku mencoba bersikap biasa saja. Aku menganggap itu wajar karena dia adalah adik iparku.
“Mbak butuh bantuan?” tawarnya saat aku bersiap menjemur pakaian.
“Nggak usah, Mbak bisa sendiri kok,” jawabku langsung menghindar dari Bayu. Tatapan matanya membuatku takut.
Ia sering curi-curi pandang saat aku beraktivitas. Kadang saat aku duduk di depan televisi. Bayu terus saja memandang tiada henti dan sesekali tersenyum aneh.
Aku sempat cerita pada Mas Andi soal Bayu yang terlihat aneh, tetapi dia menjawab jika adiknya itu memang murah senyum. Alhasil, aku tak lagi mengadu soal tingkah Bayu . Aku mencoba bersikap biasa saja, meski sebenarnya aku takut.
Dan malam itu, setelah kepergian Mas Andi ke Bandung lagi. Hujan petir disertai angin membuatku takut. Apalagi mati lampu sejak sore hari, menjadikan suasana semakin mencekam.
“Mbak,” panggil Bayu dan aku hanya diam, bersembunyi di balik selimut.
Karena aku tak kunjung keluar kamar. Bayu pun masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Dengan bantuan cahaya senter dari ponsel, Bayu berhasil sampai di samping tempat tidurku.
“Mbak, makan dulu yuk,” ajaknya dan aku tetap diam. Berpura-pura tertidur karena saat ini aku benar-benar ketakutan. Takut akan gelap dan hal lainnya yang akan menimpa diriku.
“Mbak.” Bayu membuka selimutku dan tiba-tiba ….
“Kamu mau apa, Bay?” tanyaku gemetar saat dengan lancang tangan Bayu menyentuh tengkukku dan menyibakkan rambut tanpa ijin.
“Eh, Mbak,” jawabnya tampak kikuk dengan tingkahnya barusan.
Gegas aku terbangun dan terduduk. Selimut kutarik untuk menutupi tubuh. Apalagi kini aku hanya mengenakan daster, karena malam ini Mas Andi akan pulang, tetapi ternyata diundur besok dan aku belum sempat ganti baju.
“Kamu ngapain masuk ke kamar, Mbak?” tanyaku beringsut mundur hingga membentur tembok.
“Aku cuma mau ajak Mbak buat makan. Soalnya semua lauk sudah aku panaskan,” jawabnya menatapku tiada henti. Meski hanya bermodal senter ponsel, tetapi manik mata Bayu terlihat jelas mengarah padaku.
“Ya udah kamu keluar dulu, nanti Mbak menyusul,” kataku dan pria itu pun patuh.
Setelah Bayu keluar, aku segera bangkit dan bersiap ganti baju. Menutup rapat-rapat pintu untuk antisipasi. Namun ternyata, Bayu kembali masuk dan langsung membungkam mulutku.
“Diam, Mbak, di luar ada yang bisik-bisik,” katanya terus membungkam mulutku.
Bener saja jika di luar ada suara seperti orang berbincang-bincang. Tubuhku seketika bergetar hebat kala suara orang berbicara itu berada di dekat jendela kamar ini.
“Halo Pak, sudah sampai gang 5 ya. Ok saya tunggu,” ucap Bayu membuat mereka langsung pergi meninggalkan rumah ini.
“Huft, aman,” imbuhnya setelah kepergian orang tak dikenal tadi.
Saat ini pula posisiku dan Bayu saling berhadapan dengan kedua tanganku memeluk tubuhnya. Aku mendongak, membuat wajah kami hampir sejajar.
“Eh maaf,” kataku langsung melepaskan pelukan, tetapi Bayu malah menarik kembali.
“Aku menyukaimu, Mbak,” ujarnya membuatku terbelalak.
“Lepasin, Bay, kamu sudah gila,” kataku berusaha melepaskan pelukan tetapi hasilnya nihil.
“Aku nggak akan melepaskan, Mbak. Aku juga ingin seperti Mas Andi. Mendengar suara erangan nikmat dari mulutmu!” Suara Bayu terdengar menakutkan dan berhasil membuat seluruh buluku berdiri.
Aku berusaha berontak, tetapi tenaga Bayu lebih kuat. Tanpa aba-aba, Bayu mendorong tubuhku hingga kami ambruk bersama di atas tempat tidur.
Malam itu, kehormatanku direnggut oleh adik iparku sendiri. Tangis penyesalan terus menderai. Aku telah mengkhianati Mas Andi. Aku adalah seorang wanita hina!.
“Aku mencintaimu, Mbak, jika nanti Mas Andi sudah tak sudi lagi, aku siap menjadi penggantinya,” ucap Bayu seraya mengusap air mataku.
Aku hanya diam tanpa kata, yang ada dalam otakku adalah bagaimana jika Mas Andi tahu aku telah berbagi ranjang dengan adiknya. Masihkah dia akan mencintaiku dengan tulus dan memperlakukan aku layaknya ratu?
Pagi ini, tiba-tiba ada suara pintu diketuk. Apakah itu Mas Andi?
Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Di mana Bayu masih terlelap di kamar ini.***
Penulis : N.Reza F.
Sumber: Aplikasi Wp.