
Om Om Tiduri Perawan Cantik
Rini merupakan seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan Desain Interior berusia 22 tahun. Tubuhnya semampai, 165 cm dengan berat 52 kg, hasil dari kegemarannya bersepeda dan yoga. Kulitnya putih mulus bak porselen, rambutnya ikal sebahu berwarna hitam pekat, bibirnya tipis berwarna merah muda alami, dan ada tahi lalat kecil di dagu yang justru menambah daya tariknya. Banyak yang bilang Rini punya aura seksi yang alami, meski dia sendiri merasa biasa saja. Sebagai anak tunggal, Rini terbiasa mandiri karena kedua orang tuanya sibuk bekerja dan jarang ada di rumah. Mereka hanya mempekerjakan asisten rumah tangga paruh waktu yang datang tiga kali seminggu. Hari itu, asisten rumah tangga tidak datang.
Rini baru saja selesai mandi. Gerah sekali. Dia hanya mengenakan celana pendek denim yang super mini dan kaus tipis berwarna putih yang sedikit transparan. Rambutnya masih basah, menempel di leher. Dia berjalan santai menuju dapur, berniat membuat es teh manis untuk mendinginkan tenggorokan. Suasana rumah yang sepi seringkali membuatnya merasa bebas dan nyaman.
Ting tong! Ting tong! Ting tong!
Bel pintu berbunyi berkali-kali, mengagetkan Rini yang sedang menuang air ke dalam gelas. “Anjing! Siapa sih siang-siang gini?” gerutunya kesal. Dia meletakkan gelasnya dengan sedikit hentakan, lalu berjalan malas menuju pintu depan. Suara bel terus mendesak, seolah tak sabar.
Dengan wajah cemberut, Rini membuka pintu. Matanya membulat sempurna. Di hadapannya, berdiri seorang pria tegap, berseragam safari hitam, dengan senyum tipis di bibirnya. Itu Om Anto, adik kandung ayahnya. Om Anto adalah seorang pengusaha kontraktor berusia 35 tahun, badannya atletis, kulitnya gelap terbakar matahari, dan tatapannya tajam. Terakhir kali Rini bertemu dengannya adalah dua tahun lalu, saat lebaran. Om Anto memang jarang pulang ke Jakarta karena kesibukannya mengurus proyek di luar kota, terakhir di Kalimantan.
“Om Anto?” Rini bergumam, masih terkejut.
“Hai, Rini. Kok melongo gitu?” Om Anto tertawa kecil. Tatapan matanya menyapu tubuh Rini dari atas ke bawah, lalu kembali lagi ke wajahnya, fokus sejenak pada tahi lalat di dagu Rini. Tatapan itu terasa panas, membuat Rini sedikit tidak nyaman.
“Eh, Om. Maaf, kaget. Kirain siapa,” Rini tersenyum canggung. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Saat tangan mereka bersentuhan, genggaman tangan Om Anto begitu kuat, seolah dia tidak ingin melepaskannya. Jari-jarinya yang besar dan kasar terasa hangat di telapak tangan Rini. “Om mampir sebentar, lagi ada urusan di Jakarta. Bosan sendirian di hotel, jadi mampir ke sini, cari teman ngobrol,” jelas Om Anto, suaranya berat dan dalam.
“Oh, gitu. Ya udah, ayo masuk, Om,” Rini mempersilakan. Dia menarik tangannya perlahan dari genggaman Om Anto.
Om Anto masuk, matanya masih saja jelalatan, mengamati setiap sudut rumah, dan sesekali mencuri pandang ke arah Rini. “Mau minum apa, Om?” tanya Rini.
“Apa aja deh, yang dingin,” jawab Om Anto sambil duduk di sofa ruang tamu.
Rini kembali ke dapur, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Tatapan Om Anto tadi membuatnya merasa aneh. Dia mencoba mengabaikannya, fokus membuat es teh. Setelah teh siap, dia membawanya ke ruang tamu.
“Ini, Om,” Rini meletakkan gelas di meja kopi.
“Makasih, ya,” Om Anto tersenyum, sambil meminum tehnya. “Wah, seger banget nih.”
“Iya, Om. Gerah banget kan siang ini,” Rini duduk di sofa single di seberang Om Anto .
“Kamu sendirian aja di rumah?” tanya Om Anto, matanya menatap lekat.
“Iya, Om. Mama sama Papa kerja. Bi Inah juga lagi libur,” jawab Rini.
“Oh, gitu.” Om Anto mengangguk-angguk. “Om numpang ke kamar mandi sebentar ya, kebelet nih.”
“Oh, iya, Om. Kamar mandi di ujung sana,” Rini menunjuk ke arah koridor.
Om Anto bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Rini menghela napas lega. Dia meraih ponselnya, berniat mengecek media sosial. Tiba-tiba, dia teringat kamar tamu yang berantakan. Dia baru saja selesai mengerjakan tugas di sana dan belum sempat membereskannya.
“Duh, berantakan banget lagi,” gumam Rini. Dia memutuskan untuk membereskan kamar tamu selagi Om Anto di kamar mandi.
Rini masuk ke kamar tamu. Baru saja dia mulai merapikan tumpukan buku di meja, tiba-tiba dia merasakan sepasang tangan kekar melingkar di pinggangnya. Napas hangat menyapu lehernya. Deg! Jantung Rini serasa mau copot. Dia tahu siapa itu.
“Om Anto!” Rini terkesiap.
Om Anto memeluknya dari belakang, sangat erat. Hidungnya mengendus-endus rambut Rini, lalu mengecup pipinya. “Wanginya…” bisiknya serak. Bibirnya sempat menyentuh tahi lalat di dagu Rini.
Tangan Om Anto yang besar dan kasar merayap naik, melewati perut Rini, lalu meremas payudaranya dari luar kaus tipisnya. Srett! Rini merasakan remasan itu begitu jelas, bahkan putingnya terasa menegang. Dia terkejut, tubuhnya menegang.
“Om, apa-apaan sih?!” Rini meronta, berusaha melepaskan diri.
Om Anto tidak melepaskan pelukannya. Dia justru semakin erat, bibirnya mendekat ke telinga Rini. “Sst… jangan berisik, Sayang,” bisiknya lembut, namun penuh desakan. Lidahnya menjilati daun telinga Rini, lalu turun ke lehernya yang putih mulus. Slurp! Sensasi aneh menjalari tubuh Rini. Dia merinding, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang asing dan membingungkan.
Meskipun otaknya berteriak untuk menolak, tubuh Rini mulai merasakan sensasi yang aneh. Remasan di payudaranya terasa semakin intens. Jilatan di lehernya membuat bulu kuduknya meremang. Dia merasakan sesuatu yang keras menekan pantatnya. Dug! Itu pasti kemaluan Om Anto.
“Om, jangan…” Rini masih mencoba menolak, suaranya tercekat.
Om Anto tidak peduli. Dia membalikkan tubuh Rini menghadapnya, lalu bibirnya langsung melumat bibir tipis Rini. Mmuahh! Ciuman itu begitu tiba-tiba, tapi juga begitu dalam. Rini sempat menolak, bibirnya rapat. Tapi Om Anto terus melumat, mengulum, dan menghisap bibir tipisnya. Perlahan, bibir Rini terbuka.
Lidah Om Anto menyusup masuk, langsung bertemu dengan lidah Rini. Slurp! Slurp! Lidah mereka bergulat, saling melilit, saling menghisap. Kepala Rini terasa pusing, melayang. Dia tidak pernah merasakan ciuman seintens ini. Tangannya yang tadinya mendorong, kini justru mencengkeram bahu Om Anto.
Tangan Om Anto yang satu lagi menyusup ke balik kaus tipis Rini, meraba perutnya yang rata, lalu naik ke payudaranya. Srett! Dia meraba payudara Rini dari luar BH. Napas Rini memburu. Tubuhnya terasa panas dingin.
Ketika tangan Om Anto masuk ke dalam BH-nya, menyentuh langsung kulit payudaranya yang putih mulus, Rini tersentak. Deg! Deg! Jantungnya berdetak makin kencang. Putingnya mengeras sempurna, seperti kancing. Selangkangannya terasa basah dan lengket.
Om Anto melepaskan ciumannya sebentar, menatap mata Rini yang berkaca-kaca. “Kamu suka, kan?” bisiknya.
Rini tidak menjawab, hanya menatap Om Anto dengan napas terengah-engah. Dia merasa malu, tapi juga ada gairah yang membakar di dalam dirinya.
Tangan Om Anto kembali ke payudaranya, meremasnya dengan lembut, lalu ibu jarinya mengusap-usap putingnya. Mmmhh… Rini mendesah pelan. Dia merasakan benda keras di pantatnya semakin menekan.
Om Anto menurunkan tangannya ke selangkangan Rini, meraba gundukan di balik celana pendeknya. Grepe! Jari-jarinya mulai bermain di klitoris Rini, mengusap-usapnya dari luar kain.
Hhh… ahh… Rini mendesah panjang. Sensasi itu begitu nikmat, membuat kakinya lemas. Dia menggoyangkan pinggulnya, mencari lebih banyak gesekan. Jari Om Anto semakin lincah, memutar-mutar klitorisnya.
Hhh… ahh… ahh… Desahan Rini semakin keras. Matanya terpejam. Tubuhnya bergetar.
Klimaks!
Ahh! Rini menjerit kecil, tubuhnya kejang-kejang. Seluruh ototnya menegang, lalu lemas. Dia merasakan sensasi panas yang menjalar dari selangkangannya ke seluruh tubuh. Cairan hangat membanjiri celana pendeknya. Dia orgasme.
Tubuhnya lemas lunglai, bersandar pada Om Anto. Napasnya masih terengah-engah. Rasa malu dan gairah bercampur aduk di dalam dirinya.
Rini masih bersandar lemas di dada Om Anto. Om Anto membelai rambutnya, lalu mengecup keningnya. “Enak, kan?” bisiknya.
Rini tidak menjawab. Dia terlalu malu. Tapi dia juga tidak menolak saat Om Anto mulai melucuti pakaiannya.
Om Anto menarik kaus tipis Rini ke atas, lalu melepaskannya dari tubuh Rini. Srett! Kaus itu terlepas, memperlihatkan payudara Rini yang montok, dengan puting yang masih mengeras dan kulit putih mulusnya. Om Anto menatapnya dengan tatapan lapar.
“Cantik sekali,” gumamnya, lalu menunduk, melumat salah satu puting Rini. Slurp! Slurp! Dia menghisapnya dengan kuat, membuat Rini kembali mendesah.
Om Anto melepaskan BH Rini. Klik! Pengaitnya terlepas. BH itu dilempar ke lantai. Payudara Rini kini telanjang bulat di hadapan Om Anto. Dia memainkannya, meremasnya, menghisapnya bergantian.
Rini memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan. Rasa malu tadi perlahan tergantikan oleh gairah yang kembali membara.
Om Anto bangkit berdiri, lalu melepas seragam safarinya. Srett! Kemeja itu terlepas, memperlihatkan tubuhnya yang kekar, dengan otot-otot yang terbentuk sempurna. Perutnya six-pack. Dada bidangnya dipenuhi bulu-bulu halus. Rini menelan ludah. Om Anto memang gagah.
Om Anto kembali mendekat, menciumi punggung Rini yang putih mulus. Lidahnya merayap, menjilati tulang punggungnya, lalu turun ke pinggang. Slurp! Slurp! Rini menggeliat.
Tangan Om Anto menarik pengait celana pendek mini Rini. Srett! Resletingnya terbuka. Dia menarik celana itu ke bawah, hingga sebagian pantat Rini terbuka.
Om Anto menunduk, menjilati punggung bawah Rini, lalu turun ke belahan pantatnya. Slurp! Slurp! Lidahnya merayap di antara kedua belahan pantat Rini, lalu menyentuh anusnya. Jleb! Rini tersentak. Sensasi aneh itu membuat tubuhnya bergetar.
Om Anto menarik celana pendek dan CD Rini hingga terlepas sepenuhnya. Srett! Kini Rini telanjang bulat. Dia berdiri di hadapan Om Anto, tanpa sehelai benang pun. Rasa malu kembali menyeruak, tapi kakinya terlalu lemas untuk bergerak.
Om Anto melepas celananya sendiri. Srett! Celana kain itu melorot, memperlihatkan celana dalam boxer-nya. Lalu dia melepas boxer-nya. Wush! Batang kemaluannya yang besar dan panjang langsung menyembul keluar, tegak sempurna. Rini menatapnya dengan mata terbelalak. Dia belum pernah melihat kemaluan pria sebesar itu.
Om Anto tersenyum tipis, lalu menarik Rini duduk di pangkuannya, di tepi tempat tidur. Kulit telanjang mereka bersentuhan. Mmuahh! Om Anto mencium bibir tipis Rini lagi, melumatnya dengan rakus.
Rini merasakan batang kemaluan Om Anto yang keras dan panas menekan selangkangannya. Dug! Dug! Sensasi itu begitu nyata, membuat napasnya tersengal.
“Om…” Rini mencoba menolak, tapi suaranya hanya berupa desahan.
Om Anto tidak peduli. Dia terus memeluk Rini erat, menjilati leher dan dadanya, membakar birahi Rini kembali. Slurp! Slurp! Lidahnya bermain di antara payudara Rini, lalu melumat putingnya lagi.
Rini menggeliat, pinggulnya bergerak-gerak di pangkuan Om Anto, menggesekkan selangkangannya ke batang kemaluan Om Anto. Ngrek! Ngrek! Gesekan itu membuat gairahnya semakin memuncak.
Om Anto mengangkat Rini, lalu merebahkannya di tempat tidur. Dia membentangkan paha Rini, lalu menundukkan wajahnya di selangkangan Rini. Hap! Bibirnya langsung melumat bibir kemaluan Rini yang sudah basah dan terlihat begitu kontras dengan kulit putih mulus di sekitarnya. Slurp! Slurp! Lidahnya bermain-main di klitoris Rini, menghisapnya, menjilatnya.
Ahh! Rini menjerit, tubuhnya melengkung. Sensasi itu begitu dahsyat, lebih dahsyat dari sebelumnya. Dia mencengkeram sprei dengan kuat.
Om Anto terus melumat, menghisap, dan menjilati kemaluan Rini. Slurp! Slurp! Slurp! Lidahnya begitu lincah, membuat Rini tak bisa menahan desahan.
“Om… Om… ahh…” Rini memanggil nama Om Anto di sela-sela desahannya.
Om Anto mengangkat kepalanya sebentar, menatap Rini. “Kamu suka, Sayang?”
Rini mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca. “Suka… banget…”
Om Anto tersenyum puas, lalu kembali melumat kemaluan Rini. Kali ini dia memasukkan satu jarinya ke dalam vagina Rini, lalu menggerakkannya. Jleb! Plop!
Ahh! Rini kembali menjerit. Dia merasakan dua sensasi sekaligus: jilatan di klitoris dan jari di dalam vaginanya.
Om Anto terus bermain dengan lidah dan jarinya, membuat Rini terus-menerus mendesah. Ahh… ahh…
Setelah beberapa saat, Om Anto mengangkat kepalanya. “Siap, Sayang?”
Rini mengangguk cepat, napasnya terengah-engah.
Om Anto naik ke atas tubuh Rini, memposisikan batang kemaluannya di depan vagina Rini. Dug! Ujungnya menyentuh bibir kemaluan Rini.
“Pelan-pelan, Om…” bisik Rini.
Om Anto tersenyum. “Tenang, Sayang.”
Dia mendorong pelan. Jleb! Kepala batang kemaluannya masuk. Rini mendesah.
Srett! Om Anto mendorong lagi, sedikit lebih dalam. Rini menggigit bibir tipisnya.
Jleb! Plop! Om Anto mendorong lagi, hingga batang kemaluannya masuk sepenuhnya ke dalam vagina Rini. Ahh! Rini menjerit, merasakan sensasi penuh yang luar biasa.
“Sempit banget, Sayang,” bisik Om Anto, suaranya serak.
Rini tidak menjawab, hanya memeluk leher Om Anto erat.
Om Anto mulai bergerak, maju mundur dengan ritme pelan. Ngrek! Ngrek! Setiap gerakan membuat Rini mendesah.
“Enak, Sayang?” tanya Om Anto.
“Enak, Om… ahh…”
- Om Anto mempercepat tempo gerakannya. Ngrek! Ngrek! Ngrek! Suara gesekan kulit dan desahan Rini memenuhi kamar.
Gerakan Om Anto semakin cepat dan kuat. Dug! Dug! Dug! Batang kemaluannya menghantam dalam-dalam, membuat Rini terus-menerus mendesah.
“Ahh! Ahh! Om!” Rini menjerit, kakinya melingkar erat di pinggang Om Anto.
Om Anto mencium bibir tipis Rini, melumatnya dengan rakus. Mmuahh! Lidah mereka kembali bergulat.
Dug! Dug! Dug! Om Anto terus menghantam, tanpa henti. Keringat membanjiri tubuh mereka.
“Ahh! Om! Aku mau keluar!” Rini berteriak, suaranya serak.
“Bersama, Sayang!” Om Anto membalas, suaranya juga serak.
Dia menghantamkan batang kemaluannya sekali lagi, sangat dalam. Jleb!
Ahh! Rini menjerit panjang, tubuhnya kejang-kejang. Dia merasakan gelombang orgasme yang dahsyat, lebih dahsyat dari sebelumnya, menyapu seluruh tubuhnya. Cairan hangat membanjiri vagina Om Anto.
Ahh! Om Anto juga menjerit, tubuhnya menegang. Dia merasakan sensasi panas yang luar biasa, lalu membanjiri vagina Rini dengan cairan putih kentalnya.
Om Anto ambruk di atas tubuh Rini, napasnya terengah-engah. Rini memeluknya erat, tubuhnya lemas tak berdaya. Mereka berdua terdiam, hanya suara napas yang memburu yang terdengar.
Setelah beberapa saat, Om Anto mengangkat kepalanya. Dia mencium kening Rini, lalu bibir tipisnya. “Kamu luar biasa, Sayang,” bisiknya, suaranya masih serak.
Rini tersenyum tipis, pipinya merona. Dia merasa malu, tapi juga ada rasa puas yang luar biasa.
Om Anto memeluk Rini erat, lalu berguling ke samping, masih dengan batang kemaluannya yang tertancap di dalam vagina Rini. Mereka berdua berbaring telanjang, saling berpelukan.
“Om, kok bisa sih?” Rini bertanya pelan.
Om Anto tertawa kecil. “Entahlah, Sayang. Om juga nggak nyangka. Kamu terlalu seksi buat ditolak.”
Rini memukul dada Om Anto pelan. “Ish, Om!”
“Tapi kamu suka, kan?” Om Anto mencolek tahi lalat di dagu Rini.
Rini mengangguk pelan. “Iya…”
Mereka berdua terdiam lagi, menikmati kebersamaan itu. Batang kemaluan Om Anto masih di dalam vagina Rini, perlahan mulai mengecil.
“Om harus buru-buru balik ke hotel,” kata Om Anto, suaranya sedikit sedih.
Rini menghela napas. “Yah…”
Om Anto mencium bibir tipis Rini lagi. “Nanti Om mampir lagi ya, kalau ada waktu.”
Rini tersenyum. “Janji ya, Om?”
“Janji, Sayang.”
Om Anto menarik batang kemaluannya keluar dari vagina Rini. Plop! Suara itu terdengar jelas. Cairan putih kental mengalir keluar dari vagina Rini, membasahi pahanya yang putih mulus.
Om Anto membersihkan dirinya dan Rini dengan tisu yang ada di samping tempat tidur. Lalu dia bangkit, mengenakan pakaiannya. Rini juga ikut bangkit, merasa sedikit canggung. Dia mengambil kaus dan celana pendeknya yang tergeletak di lantai, lalu memakainya.
“Om pulang dulu ya,” kata Om Anto, setelah rapi.
“Iya, Om. Hati-hati,” Rini mengantar Om Anto sampai depan pintu.
Sebelum pergi, Om Anto mencium kening Rini lagi. “Sampai ketemu lagi, Sayang.”
“Sampai ketemu, Om.”
Om Anto masuk ke mobilnya dan melaju pergi. Rini berdiri di ambang pintu, menatap mobil Om Anto hingga menghilang dari pandangan.
Rini kembali masuk ke rumah. Suasana rumah terasa berbeda. Ada jejak-jejak gairah yang tertinggal di udara. Dia berjalan kembali ke kamar tamu, tempat di mana semua itu terjadi. Sprei tempat tidur sedikit kusut. Ada sedikit noda basah di sana.
Rini menyentuh bibir tipisnya, masih merasakan sisa-sisa ciuman Om Anto. Tangannya meraba payudaranya yang putih mulus, lalu turun ke selangkangannya. Dia masih bisa merasakan sensasi penuh tadi.
Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Om Anto akan benar-benar kembali? Apakah ini akan menjadi rahasia mereka berdua? Yang jelas, siang itu, di rumah yang sepi, Rini telah mengalami sesuatu yang tidak akan pernah dia lupakan. Sesuatu yang tabu, tapi juga begitu memabukkan.
Rini tersenyum tipis, tahi lalat di dagunya terlihat jelas. Dia berjalan ke kamar mandi, membersihkan dirinya. Air dingin yang membasahi tubuhnya tidak bisa menghapus sensasi panas yang masih membakar di dalam dirinya.
Malam harinya, saat orang tuanya pulang, Rini bersikap seperti biasa. Dia membantu ibunya menyiapkan makan malam, bercerita tentang kuliahnya. Tapi di dalam hatinya, ada rahasia besar yang tersimpan. Rahasia tentang Om Anto, dan siang yang panas itu.
Sejak hari itu, setiap kali bel pintu berbunyi, jantung Rini selalu berdebar lebih kencang. Dia selalu berharap itu adalah Om Anto, kembali untuk melanjutkan kisah terlarang mereka. Dan entah mengapa, jauh di lubuk hatinya, dia tahu, Om Anto pasti akan kembali. Ini baru permulaan.