
Sexs Dengan Dokter Cantik
Aku, Edi (nama samaran), dipanggil singkat Di. Setelah kerja 2 tahun lebih, aku dipindah tugaskan ke kota Jakarta barat ini, tidak seramai kota besar asalku, tapi cukup nyaman. Aku dipinjamkan rumah kakak perempuanku yg bertugas mendampingi suaminya di luar negeri. Sekaligus menjaga dan merawat rumahnya, ditemani seorang mbok setengah tua yg menginap, dan tukang kebun harian yang pulang tengah hari.Dua bulan sudah aku tinggal di rumah ini, biasa-biasa saja. Oya, rumah ini berlantai dua dengan kamar tidur semuanya ada lima, tiga di lantai bawah dan dua di lantai atas. Lantai atas untuk keluarga kakakku, jadi aku menempati lantai bawah. Di samping kamar tidurku ada ruang kerja. Aku biasa kerja disitu dengan seperangkat komputer, internet dan lain-lain.Suatu ketika, aku kedatangan seorang dokter gigi, drg Reno, ditemani asistennya, Marsha. Mereka mau mengkontrak satu kamar dan garasi untuk prakteknya. Untuk itu perlu direnovasi dulu. Aku menghubungi kakakku melalui sarana komunikasi yang ada, minta persetujuan. Dia membolehkan setelah tanya-tanya ini itu. Maka mulailah pekerjaan renovasi dan akan selesai 20 hari lagi.
Sementara itu, drg Reno menugaskan Marsha untuk tinggal di kamar tidur yg dikontrak juga, disamping garasi yg hampir siap disulap jadi ruang praktek. Mulailah kisah dua anak manusia berlainan jenis dan tinggal serumah….Sudah dua minggu Marsha tinggal di rumah ini. Dia biasanya membawa makan sendiri, seringkali aku ikut makan bersama dia kalau kebetulan masakan mbok dirasa kurang. Marsha berlaku biasa saja mulanya, dan aku tidak berani lancang mendekatinya. Marsha berperawakan hampir sama tinggi denganku, tidak gemuk tetapi tidak kurus.
Selalu berpakaian tertutup sehingga aku tidak berhasil melihat bagian yang ingin kupandang. Wajahnya cukup manis.Suatu hari, mbok minta ijin pulang kampung setelah bekerja 9 bulan lebih tanpa menengok anak cucunya. Aku mengijinkan mbok pulang. Mbok akan minta tolong pembantu tetangga menyediakan makanan untuk aku selama mbok pulang.Nah, pagi hari itu aku mengantar mbok ke setasiun bus dengan mobil kantorku, baru pulang untuk mengambil berkas dan berangkat lagi ke kantor. Marsha pergi ke klinik dokter gigi Reno dengan motor, biasanya di jam setengah delapan pagi sudah kabur dan pulang jam lima atau enam petang, tergantung kepada banyaknya pasien. Untuk praktisnya, masing-masing dari kami membawa kunci rumah sendiri.Sore hari setelah mbok pergi itu suasana rumahku sepi. Aku pulang jam empat sore dan sempat melihat-lihat kebun dan mengambil daun-daun kering lalu membuangnya di tempat sampah. Marsha baru sampai di rumah sekitar jam setengah enam, tanpa aku tahu. Dia ternyata ada di jendela memandangku bekerja di kebun. Ketika matahari sudah doyong ke Barat, aku baru melihat ke jendela dan nampak Marsha tersenyum di baliknya. Segera aku masuk rumah. “Sudah lama kamu datang, Marsha?” Dia mengangguk.“Aku melihat kamu bekerja di kebun, suatu pemandangan indah, laki-laki rajin bekerja keras… Kagum aku dibuatnya.”Aku tertawa sendiri, lalu masuk kamar untuk mandi. Kamar mandiku ada dalam kamar tidur, jadi aku bebas berjalan telanjang masuk keluar atau dengan melilitkan handuk saja, seperti sore itu. Keluar kamar mandi, aku terkejut, karena Marsha ada dalam kamar tidurku.“Aku masuk tanpa permisi, maaf ya, kamu marah?” tanyanyaAku jawab, “ Ah tidak, masak marah sih, disambut perempuan seksi dan manis…? Aku mau tukar baju, kamu mau tetap di sini atau…?”Marsha tersipu. “Oh, mau buka handuk, gitu? Aku tunggu di sofa, mau ada perlu sama kamu.”Marsha keluar kamar.Aku mengenakan kaos oblong dan celana boxerku, lalu menghampiri Marsha di sofa, duduk di sebelahnya.
Dia menjauh. “Kamu sudah mandi, aku belum… nanti kamu nggak betah di dekatku..”Aku cuma senyum saja. “Ada pelu bicara apa, Marsha…?” Dia bimbang sebentar, lalu, “Aku mau numpang mandi di kamar mandimu. Ada shower air hangat kan? Water heater di kamar mandiku rusak, mbok belum sempat panggil tukang…”Sambil senyum, aku jawab, “Tentu, silahkan saja, tapi pintu kamar mandi jangan dikunci, sulit membukanya. Tenang, aku tidak akan mengintip kamu mandi, jangan takut…”Marsha tertawa, “Tidak ngintip tapi langsung melihat…? Mana ada laki-laki membuang kesempatan.”Aku malu mendengarnya. “Ah, kamu bisa saja…” itu jawabku sambil memegang bahunya. “Tuh, mulai ya,..?” katanya sambil setengah berlari masuk kamarnya mengambil handuk dan lain-lain.Dua puluh menit berlalu, Marsha sudah kembali duduk disampingku. Bau wangi menyergap hidungku. “Eh, Di, mau nggak antar aku beli kacang rebus atau goreng di simpang jalan?” Segera aku mengiyakan.Lima menit kemudian Marsha dan aku sudah bergandengan tangan berjalan ke penjual kacang, sekitar 500 meter jauhnya. Sepulangnya, tangan Marsha menggandeng lenganku dan aku sempat merasakan buah dada kanannya menyentuh lengan kiriku. Serrr, darahku berdesir, jantungku berdegub kencang. Ibu—ibu di warung dekat situ nyeletuk, “Wah bu dokter sudah punya calon suami… selamat ya?” Marsha tertawa kecil. Ibu-ibu itu sudah akrab dengan Marsha, mempersilahkan mampir untuk suatu pertanyaan tentang kesehatan giginya. Sempat terdengar Marsha melayani salah satu dari mereka sambil menyoroti mulut si pasien kampung itu dengan batere kecil, lalu menyuruhnya datang ke klinik besok pagi. Semua pertanyaan dijawab dengan ramah. Aku jadi kagum dengan keramahan Marsha. Pantes kliniknya ramai setiap hari.
Pulang rumah, aku dan Marsha duduk di seputar meja makan sambil menikmati kacang rebus dan goreng. Sementara itu aku tetap mencuri-curi pandang wajahnya, atau turun ke dadanya. Tetap tidak kelihatan apapun. Marsha seorang perempuan yang tetap menjaga kesusilaan, pikirku. Jadi, apakah aku bisa menikmatinya, waduh, mengajaknya tidur bersama, pikiranku melayang ke arah hal-hal yang erotis. Marsha menyudahi makan kacang karena kenyang, katanya, lalu bangkit pergi ke tempat sikat gigi (wastafel). Aku merapikan meja makan, lalu menyusul Marsha untuk sikat gigi di sampingnya.Tanganku mulai nakal. Aku nekad menyentuh bokongnya, meremas lalu merangkul pinggangnya. Marsha seakan kaget, lalu menepis tanganku sambil sedikit menatapku sementara mulutnya masih penuh busa.Marsha berkata, “Jangan mulai nakal… “ Lalu dia membalas mencubit bokongku dan meninju punggungku.“Nih, rasakan, ya…” Dia mencubit berkali-kali dan meninju juga.Lama-lama aku merasa sakit juga, lalu kutangkap tangannya dan kutarik tubuhnya mendekat, tetapi dia berontak dan lari ke sofa. Selesai sikat gigi, aku duduk disebelahnya.“Kamu masih marah, Marsha?” Dia menutup matanya, lalu… menubruk dadaku seraya menangis. Aku heran sekali. “Kamu ini…. Kamu ini… bikin aku gemes! Aku jadi nggak tahan lagi. Dadamu basah ya, dengan air mataku. Buka saja kaosmu…” Aku menurut, dia kembali membenamkan wajahnya di dadaku, lidahnya menjilati putingku. Bibirnya menciumi dadaku ke kiri dan ke kanan samapi ke lipatan ketiakku. Ketika lidahnya mau menjilat ketiakku, segera kurapatkan sehingga dia gagal. Wajahnya nampak kecewa. Berbisik, “Kenapa? Nggak mau ya?”Aku jawab, “Nanti kamu nggak tahan baunya, bau keringat laki-laki. Marsha, aku ada permintaan…”Marsha menjawab lirih, “Minta apa? “Kujawab, “Mau nggak kamu tidur di kamarku bersama aku?” Marsha diam saja, tidak mau menjawab. Wajahnya sudah ditarik menjauh. Aku takut dia marah.Lalu berbisik, “Kalau aku bilang… tidak mau, kamu marah?”Aku jawab, “Aku tetap membujuk sampai kamu mau. Sinar mata dan wajahmu mengatakan kamu mau…”Tiba-tiba Marsha bangkit dan berjalan ke kamarnya. Di pintu masuk kamar, dia memalingkan wajahnya lalu menggapai aku supaya mendekat. Aku segera bangkit, menuju
kamarnya. “Kamu saja yang tidur di sini, mau?” Aku menggelengkan kepala.“Kamar mandi untuk kamu kan ada di kamar tidurku,gampang untuk segala keperluan…” Marsha tersenyum mengangguk. “Kalau begitu, kamu tunggu di kamar, ya, nanti aku menyusul kamu.” Jantungku hampir berhenti berdetak mendengarnya. (Marsha mau lho, tidur denganku…!)Segera aku berjalan ke kamarku, lalu merapikan ranjang, meletakkan dua handuk melintang di atasnya. Tak lupa mengoleskan krim tahan lama pada kepala kemaluanku, lalu memakai sarung setelah melepaskan semua pakaian.Belum satu menit, Marsha sudah berdiri di depan pintu kamar. Melihat aku memakai sarung, dia berkata, “Kamu ada sarung lagi? Aku ingin memakai. Rasanya praktis ya?” Aku mengangguk lalu membuka lemari pakaian, mengambil sarung lagi, kuserahkan kepada Marsha. Dia membawa sarung itu masuk kamar mandi, melirik manis sambil berkata, “Jangan ikut masuk, ya?” Aku tertawa saja, lalu berbaring bertelanjang dada sampai pinggang. Sarung itu menutup bagian bawah setelah pinggang. Marsha keluar kamar mandi dengan sarung menutup bagian dada sampai pinggul. Dia meletakkan pakaiannya, termasuk BH dan celana dalam kuning, di meja.