Sexs Wanita Liar
Sesuatu hal yang tak pernah terlintas dalam mimpi sekalipun, ketika kumasuki gerbang impian, jauh dari rencana ataupun khayalku.
Yang aku ingat, dulu aku adalah gadis lugu yang belum terkontaminasi pergaulan bebas, seperti remaja seusiaku saat itu, yang rela dan tanpa takut dosa, membiarkan lelaki yang dianggap pacar, menyentuh bagian tubuhnya, bahkan sampai menyerahkan mahkota terlarang karena liarnya nafsu.
Aku berusaha menjaga kesucianku hanya untuk lelaki halalku.
Ya, hanya untuknya, meskipun itu dari hasil perjodohan, tanpa adanya cinta sebelumnya.
Panggil saja aku Uswa.
Aku terlahir di sebuah desa kecil di kepulauan Sumatera. Setamat SMP, ayah memasukkanku ke sebuah pesantren di Jawa, hingga aku tamat SMA. Lalu ayah memboyongku, dan menerima lamaran seorang lelaki paruhbaya untukku.
Orang di kampung memanggil calon suamiku, Haji Manaf, juragan kopi, yang punya ladang terluas digunung (info yang aku dengar dari tetangga).
Entah apa yang menjadi alasan bapak menerimanya menjadi calon suamiku, aku tak pernah tahu. Yang aku tahu aku cuma manut, sami’na wa atho’na.
Akhirnya sebulan setelah lamaran, pernikahanpun digelar dengan meriah. Bahkan hampir semua warga kampung sebelah turut hadir.
Esok harinya aku langsung diboyong ke rumah suami
Di kawasan perkebunan kopi. Aku kira akan ada sambutan luar biasa, mengingat suamiku, katanya seorang juragan. Namun, hanya terlihat dua orang pembantu dan satpam yang membukakan gerbang untuk kami, yang menyambut kedatangan kami.
Mbok Ngatirah dan bi Sanah yang langsung mencium tanganku membuatku terkejut, karena aku merasa sungkan mereka lebih tua dariku, lalu segera menuju bagasi mobil, mengambil koper kami dan segera membawa masuk ke dalam.
Bang Haji Manaf mengandeng tanganku dan mengajakku masuk ke kamar, yang sudah disediakan untukku. Dia menyuruhku segera mandi dan istirahat.
Setelah sholat Maghrib, kami makan bersama. Tempat makan yang luas dan indah, seperti milik orang kaya, yang ada di sinetron, yang biasa dilihat emak di rumah. Padahal dari luar seperti gedung tua yang tak terawat……
Malam itu, setelah selesai makan, aku hendak membawa piring dan gelas kotor ke dapur. Namun bi Sanah melarangku.
“Jangan Nyonya, ini tugas kami”,katanya, sambil mengambil piring kotor yang ada di tanganku.
“Tidak apa bi, saya sudah terbiasa”, jawabku berusaha menolak.
Tiba-tiba ada seseorang memegang lenganku dari samping. Aku terkejut, lalu menoleh.
Bang Haji….bisikku dalam hati.
Dia menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan kepadaku agar tak meneruskan keinginanku. Kemudian mengajakku ke kamar kami, lebih tepatnya balkon atas kamar kami.
“Jangan panggil bang, panggil saja mas”, katanya
Aku heran mendengarnya. Tanpa sadar menatapnya dan memperlihatkan wajah bloon yang menunggu penjelasan.
Dia tersenyum, mengerti maksud tatapanku.
“Uswa, Kakekku orang Jawa, nenekku juga orang Jawa yang dari ayah, Sedang yang dari ibu kakekku Blasteran Arab Jawa dan nenekku Blasteran Jawa Sunda, jadi aku lebih suka dipanggil mas”, lanjutnya.
Ooo
Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Aku masih takut untuk bertanya lebih jauh, meskipun ingin, dan memang aku harus tahu tentangnya.
Cukup lama kami terdiam. Membuat debaran di dadaku makin tak karuan. Mas Manaf melirikku sambil tersenyum.
Ya Tuhan….
Apa benar lelaki ini adalah jodoh terbaik untukku. Aku yang selama ini berusaha memantaskan diriku, agar layak untuk pendamping hidupku nantinya, tak pernah membayangkan ataupun terlintas yang seperti inilah jodohku.
Pria dewasa seusia pamanku.
Dan….tentangnya….masih misteri untukku.
Suara Adzan isya’ memecah kebisuan kami.
Mas Manaf mengajakku berwudlu, lalu kami sholat berjamaah di dalam kamar.
Selesai sholat aku mencium tangan mas Manaf, dia kemudian memegang kepala dan berdo’a, kemudian meniup ubun- ubunku.
Aku merasa tubuhku bergetar, lalu reflek segera mundur, melipat mukena , dan duduk di pinggir ranjang.
Mas Manaf sedikit kaget melihatku begitu, tapi, kemudian tersenyum.
Aku takut dia mendekat, buru- buru kutarik selimut, lalu berpura-pura mengantuk dan mau tidur.
Mas Manaf lebih mendekat. Dia memegang keningku