Guru Sexy
Pernah kebayang enggak sih, seorang guru yang sehari-hari ngajarin norma dan etika, tiba-tiba malah terjun ke dunia gelap yang jelas-jelas bertolak belakang sama semua yang dia ajarin? Apa karena desakan ekonomi, atau justru kebutuhan lain yang memicu semua ini? Yuk, kita ikutin cerita Anisa.
Anisa, 31 tahun, adalah seorang guru di sekolah swasta ternama di Surabaya. Dia udah nikah sama Supono, yang kerjaannya teknisi di pengeboran minyak lepas pantai. Supono ini pulangnya cuma 5-6 bulan sekali, bikin Anisa sering kesepian.
Titik baliknya dimulai waktu Anisa nemuin bukti kalau suaminya main serong. Dari cerita teman Supono yang punya dendam pribadi, Anisa tahu kalau selama di lepas pantai, Supono suka “jajan” cewek-cewek nakal. Teman suaminya ini bahkan nunjukkin beberapa foto mesra Supono sama cewek-cewek itu. Hati Anisa hancur berkeping-keping. Dendam menguasai dirinya, dan dia bertekad buat balas dendam dengan cara yang enggak pernah dia bayangin sebelumnya: jadi “High Class Call Girl”.
Awalnya, Anisa pasang iklan di koran. Bunyinya begini: “Massage Martha, cantik dan berpengalaman menerima panggilan. Hub. 0812160700X”. Dengan nama samaran “Martha”, petualangan terlarang ibu guru kita ini pun dimulai.
Ponsel Anisa mulai banjir SMS, isinya macem-macem. Ada panggilan kerja, tapi enggak sedikit juga yang isinya kalimat-kalimat porno. Anisa enggak ladenin semua itu, menurutnya cuma buang-buang waktu. Negosiasi sama calon klien juga sering mentok, karena Anisa pasang tarif yang lumayan tinggi: Rp 1,5 juta sekali kencan. Jelas, enggak banyak yang berani booking dia.
Sampai suatu hari, telepon masuk pas dia lagi ngajar di kelas.
“Permisi, anak-anak, Ibu mau terima telepon dulu. Jangan ramai, ya!” kata Anisa sambil buru-buru keluar kelas.
“Halo, Martha?” terdengar suara berat seorang cowok.
“Ya, dengan siapa, Pak?” jawab Anisa.
“Berapa tarif kamu semalam?”
“Rp 1,5 juta, bayar di muka, enggak kurang dari itu.”
“Oke, done deal. Kita ketemu di Kafe Bubble, jam 18.30 nanti malam. Sampai sana langsung miss call aku, ya. Bye… tut tut tut.”
Jantung Anisa deg-degan enggak karuan. Ini pertama kalinya dia dapet panggilan serius, dan yang lebih aneh lagi, cowok itu enggak nawar harga sama sekali. Anisa termenung, mikirin telepon tadi, sampai salah satu muridnya menegur.
“Bu, Ibu sakit, ya?” tanya muridnya polos.
“Oh, enggak apa-apa kok. Ayo masuk lagi,” jawab Anisa sambil megang pundak muridnya.
Pulang sekolah, Anisa langsung siap-siap. Dia mandi, dandan secantik mungkin tapi enggak menor, terus pakai gaun malam hitam yang anggun. Dengan taksi, dia berangkat ke Kafe Bubble.
Sampai di kafe, deg-degannya makin menjadi. Dengan tangan sedikit gemetar, dia miss call nomor yang tadi siang nelpon. Enggak lama, terdengar suara ponsel di pojokan ruangan, sengaja ditaruh di atas meja sama pemiliknya.
Mata Anisa tertuju pada seorang pria Tionghoa berusia 42 tahun, berpakaian rapi, dan berkacamata minus. Pria itu melambaikan tangan, seolah-olah sudah kenal Anisa.
“Hai, Martha, silakan duduk di sini,” katanya sambil berdiri dan menjabat tangan Anisa (alias Martha).
“Oke, kita makan dulu atau langsung pergi nih?” tanya pria itu.
“Kita bisa langsung pergi setelah pembayaran dilakukan,” jawab Anisa ketus.
“Wow, santai saja, Nona. Jangan takut, ini aku bayar sekarang.”
Sebuah amplop cokelat disodorkan. Anisa langsung membuka dan menghitung isinya.
“Oke, Rp 1,5 juta. Kita berangkat. Omong-omong, nama Bapak siapa?” tanya Anisa.
“Teman-teman panggil aku Acong. Yuk, berangkat,” jawab Acong sambil menggandeng tangan Anisa mesra, kayak pasangannya sendiri.
Dengan Mercy-nya, Acong membawa Anisa meninggalkan kafe. Mereka melaju santai tapi pasti menuju kawasan perumahan elit di Dharmahusada. Di depan sebuah rumah mewah berpagar tinggi, Acong membunyikan klakson. Pagar besi itu otomatis terbuka, meski enggak ada orang di halaman. Begitu mobil masuk sampai teras, seorang pria berseragam batik berlari kecil menghampiri mobil.
“Selamat datang, Koh Acong,” katanya sambil membukakan pintu mobil.
“Yang lain sudah pada kumpul, kan, Yok?” tanya Koh Acong pada pria berseragam itu.
“Sudah, Pak. Silakan, Pak,” jawab Doyok, si petugas valet service.
Mobil Acong langsung diambil alih Yoyok untuk diparkir. Acong dan Anisa langsung masuk ke dalam rumah mewah itu.
“Ini rumah Koh Acong?” tanya Anisa takjub melihat ruang tamu yang besar dan penuh barang mewah.
“Oh, bukan. Ini rumah perkumpulan, semacam klub buat kami melepas penat,” jawab Koh Acong sambil membuka pintu ruang tengah. Di dalamnya, ada 3 pria dan 3 wanita, 5 kasur king size, 2 meja biliar, 3 set sofa mewah, dan sebuah mini bar yang tertata apik. Dari suasananya, jelas ruangan ini sering dipakai buat pesta liar.
“Hoi, Cong, lama banget kamu. Dapet barang baru, ya?” tanya seorang pria Tionghoa berusia 56 tahun yang dipanggil Koh Ahiong.
“Ah, enggak enak ah ngomong gitu di depan orang,” elak Acong.
“Koh Acong, mending kamu kasih Mbak ini buat aku saja. Kamu pakai saja salah satu SPG yang aku bawa,” kata pria bertubuh gemuk dan berkulit sawo matang yang dipanggil Pak Andre.
Acong memerhatikan SPG-SPG yang ditawarkan padanya. Di antara ketiganya, ada satu yang paling menarik perhatiannya: Lidia, 21 tahun, berdarah Tionghoa, tinggi 168 cm, berat 48 kg, dan wajahnya mirip model. Dengan rok super mini dan kemeja ketat tipisnya, Acong enggak bisa nolak tawaran Pak Andre.
“Oke deh, Pak Andre boleh ambil Martha, saya pinjam Lidia,” sahut Acong sambil langsung menarik pinggang Lidia. Mereka berdua langsung berciuman dalam dan panas, sampai terdengar desahan napas mereka.
Lidia yang dicium ganas membalas ciuman itu sambil membuka kancing kemejanya yang seakan enggak muat menampung payudaranya yang montok. Dengan rakus, Koh Acong melorotkan bra Lidia dan menghisap puting berwarna cokelat muda itu. Sambil bercumbu, tangan Koh Acong bergerak melingkar pinggang Lidia dan melepas kait rok mininya, lalu meloloskan rok itu. Kini, Lidia hanya mengenakan bra yang sudah melorot dan celana dalam putih berenda tipis yang seksi banget di tubuhnya yang putih bak mutiara.
Dengan sekali angkat, tubuh Lidia dibawa Koh Acong ke ranjang terdekat. Dia menelentangkannya, melepas celana dalam seksi itu, sehingga terlihatlah area kewanitaan Lidia yang sudah bersih tercukur. Tanpa buang waktu, Acong langsung menjilat dan menusuk-nusukkan lidahnya ke dalam vagina Lidia, diikuti dengan erangan nikmat dari Lidia.
“Ahh, aduh enak, Koh, dahsyat aargh!”
“Enak, ya, Lid? Kamu udah berapa kali ngeseks selama jadi SPG?” tanya Acong sambil mengocok vagina Lidia dengan dua jari, sesekali menggosok klitoris mungil itu dengan jempolnya.
“Ini yang ketu…tujuh, aah hi hi hi aduh geli Koh!”
“Yang pertama sama siapa?” selidik Acong, mencari-cari G-spot dengan ujung jarinya.
“Yang pertamaaa, aduh yaaah yaah aauh di situ, Koh, enak! Yang pertama sama Pak Andre di WC showroom aah!”
Untuk mengakhiri pemanasan ini, Acong menempelkan lidahnya di klitoris Lidia, kemudian menggeleng-gelengkan dan memutar-mutar kepalanya dengan lidah tetap menempel. Menerima rangsangan dahsyat itu, tubuh Lidia melengkung bagai busur panah yang siap melesatkan anak panahnya.
“Aduh, Koh Acong, aargh! Masukin sekarang, Koh, jangan siksa aku lebih lama lagi, hmm?”
Melihat Lidia sudah terangsang berat, Koh Acong segera menghentikan permainan oralnya dan melepas bajunya sendiri dengan cepat. Lidia yang melihat Koh Acong melepas bajunya, kagum melihat badan Koh Acong yang berotot, dadanya yang bidang, dan perutnya yang six-pack, sangat seksi di mata Lidia yang biasanya melayani Pak Andre yang gendut.
Semakin bernafsu untuk segera bersetubuh, Lidia membantu melepas celana Koh Acong. Betapa kagetnya Lidia ketika celana itu melorot, langsung nongol benda sepanjang 16,5 cm (wah, ternyata Koh Acong enggak pakai celana dalam, loh, tapi kata dokter, enggak pakai celana dalam juga bagus buat kesuburan pria!).
Dengan posisi kaki dibuka lebar-lebar, Lidia menanti Koh Acong sambil tangan kanannya menggosok-gosok klitorisnya sendiri. Koh Acong mengambil posisi di tengah-tengah kaki Lidia yang terbuka lebar dan mengarahkan penisnya ke “gerbang kewanitaan” Lidia.
“Aku masukin, ya, Lyv?”
“Sini kubantu, Koh,” Lidia memegang penis Acong dan mengarahkannya ke liang senggamanya.
“Seret banget, ya, Lid, jadi susah masuk nih.”
“Koh, jangan bercanda melulu ah, kapan masuknya?”
“Ya udah, nih, rasain, Lid!”
“Aauh aah aah! Pelan dikit, Koh!”
Akhirnya, pelan tapi pasti, penis Koh Acong amblas ke dalam vagina Lidia. Permainan “kuda-kudaan” khusus dewasa pun dimulai. Koh Acong memaju-mundurkan pantatnya dengan tempo sedang sambil memegang kedua betis Lidia sebagai tumpuan tangannya.
Beralih ke ibu guru kita, Anisa “Martha”, yang cuma bengong melihat pemandangan liar di sekitarnya.
“Wah, suasananya panas, ya?” Pak Andre menegur Anisa yang bengong.
“Ah, enggak juga, Pak, kan ada AC,” balas Anisa risih.
“Enggak panas gimana, coba kamu lihat orang-orang itu pada telanjang, ngapain coba?”
“E-e-e-e gimana, ya, Pak…”
“Eng-eng-eng apa? Ayo lepas bajumu, kamu kan sudah dibayar, kan?”
Anisa merasa harga dirinya diinjak-injak. Dalam hati, Anisa Martha berkata, “Aku adalah seorang guru yang dihormati dan disegani oleh anak didik dan rekan kerjaku. Kenapa demi dendam pada suami aku harus menjerumuskan diriku ke dalam lembah nista? Tapi sudah terlambat.” Air mata mulai menetes di pipi Anisa.
“Wah, kok malah nangis ini gimana? Aduh!” Pak Andre mengelus-elus perutnya yang besar karena bingung.
“Enggak, Pak, ayo kita mulai saja permainan ini,” Anisa mengusap air matanya.
“Ya, gitu dong, itu baru semangat profesional. Jangan nangis lagi, ya!”
Anisa membuka gaun malamnya dengan pedih dan rasa hampa. Demikian juga Pak Andre, dia membuka seluruh pakaiannya, memperlihatkan tubuhnya yang gemuk dan hitam.
“Sini, Mar, Bapak akan membuat kamu melayang-layang!” panggil Pak Andre.
Anisa yang masih malu dan canggung menutup tubuhnya yang telanjang dengan tangannya sebisa mungkin sambil melangkah ke arah Pak Andre.
“Wah, kok malu-malu gitu? Jangan khawatir, Ros, Bapak enggak akan kasar-kasar sama kamu,” Pak Andre memandang tubuh Anisa dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun memandang tubuh Anisa yang menggiurkan, kulitnya yang kuning langsat bagai kulit putri keraton. Meskipun tidak seputih Lidia, pancaran erotis dari mata Anisa bagai sinar pusaka Tanah Jawa.
Dan cara gerak Anisa Martha sungguh membangkitkan gairah. Keayuan khas gadis Jawa terpancar dari setiap lekuk tubuhnya, dan terutama payudaranya yang berwarna kuning gading sungguh mengundang birahi lelaki manapun yang melihatnya.
Dengan lembut, Pak Andre meletakkan kedua telapak tangannya di atas payudara Anisa dan mulai memijat lembut, sambil perlahan ia melekatkan bibirnya ke bibir Anisa yang sensual. Bibir Anisa dilumatnya, semakin lama semakin panas sampai kedua tubuh itu seolah menjadi satu. Pak Andre melingkarkan tangannya ke pinggang Anisa dan menariknya sampai lekat pada tubuhnya, mencumbu Anisa dengan penuh nafsu. Dihisap dan dimasukkan lidahnya ke dalam relung-relung mulut Anisa, sehingga mau tak mau Anisa membalas pagutan-pagutan liar itu.
Hasrat kewanitaan Anisa benar-benar dibangkitkan oleh Pak Andre yang berlaku seperti kuda jantan dan mendominasi setiap permainan ini. Anisa mulai merasakan hawa panas naik dari dadanya ke ubun-ubun yang membuatnya semakin tak berdaya melawan hawa maksiat yang begitu kental dalam ruangan ini, sehingga akhirnya Anisa pun terlarut dalam hawa maksiat itu.
“Mar, aku minta dioral dong!” sambil menyodorkan penis hitamnya yang berdiameter 5 cm dengan panjang 14 cm.
“Enggak ah, Pak, jijik saya! Ih!”
“Wah, kamu harus profesional, Mar. Kalau kerja jangan setengah-setengah gitu dong. Gini aja, kamu tak oral, kalau sampai kamu orgasme berarti kamu harus ngoral aku, ya?”
Belum sempat Anisa menjawab, Pak Andre telah menyelusupkan kepala di selangkangan Anisa dan mulai melancarkan segala jurus simpanannya, mulai dari jilat, tusuk, sampai jurus “blender” yang menyapu rata seluruh dinding permukaan vagina Anisa, sehingga dalam waktu 7 menit Anisa sudah dibuat kejang-kejang.
“Oooh, Pak! Oouh oh pa…ak!” Anisa meregangkan ototnya sampai batas maksimal.
“Tuh, kamu udah orgasme, enggak bisa bohong. Sekarang giliranmu!” ucap Pak Andre senang.
Pak Andre menarik kepala Anisa dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang penisnya sendiri sambil mengocok ringan. Setelah mulut Anisa dalam jangkauan tembak, Pak Andre segera menjejalkan penisnya ke dalam mulut Anisa.
“Ayo dong, Martha!” Pak Andre menyuapkan penisnya seperti menyuapkan makanan pada anak kecil. Setelah penisnya berada dalam mulut Anisa, maka dengan menjambak rambut Anisa, Pak Andre memaju-mundurkan kepala Anisa.
“Ehm ehm Pak Andre… ehm ehm!” Anisa berusaha berbicara tapi malah tersenggal-senggal.
“Udah, diam aja deh, Mar. Jangan banyak bicara, emut!”
Setelah lima menit berjalan, Anisa akhirnya secara mandiri mengulum ujung penis Pak Andre, sementara tangannya mengocok dengan kasar pangkal penis Pak Andre.
“Yes, gitu, Mar! Wah, kamu lebih hebat dari istriku, loh. Mau enggak kamu jadi gundikku?” Pak Andre berbicara ngawur karena keenakan dioral Anisa. Merasa jenuh dengan permainan oral, akhirnya Anisa meminta untuk bercinta.
“Udahan dong, Pak, kita ngeseks yang bener aja, ya?” tanya Anisa dengan halus.
“Oke, kamu yang minta, loh!”
Pak Andre menarik Anisa yang tadinya mengoral dia dalam posisi jongkok menuju meja biliar, dan menyuruh Anisa menumpukan kedua tangannya menghadap meja biliar. Sementara Pak Andre yang berada di belakang Anisa mengatur posisi “sodokan” perdananya.
“Mar, nungging dikit dong, ya gitu, sip!” Pak Andre mengelus pantat Anisa yang bahenol, kemudian mengarahkan senjatanya ke vagina Anisa.
“Aaaouh, Pak Andre, pelan Pak, sakit! Penisnya Bapak sih kegedean,” ucap Anisa setengah meledek.
“Wah, kamu itu muji apa menghina, Ros? Mungkin vaginamu yang kekecilan, Ros!” Pak Andre membalas ejekan Anisa dengan menarik pinggul Anisa ke belakang secara cepat, maka amblaslah seluruh penis Pak Andre.
“Auuw gede banget, aauw aah!” Anisa mulai menggoyang pinggulnya berusaha menyeimbangi goyangan Pak Andre.
Pak Andre membenamkan penisnya dalam-dalam dengan menarik pinggul Anisa ke belakang. Dengan penis masih tertancap di vagina Anisa, kemudian Pak Andre memutar pinggulnya membentuk lingkaran sehingga penis yang di dalam vagina Anisa menggencet dan menggesek setiap saraf-saraf nikmat di dinding vagina.
“Aauh, Aku keluar ahh!” Anisa mengalami orgasme yang menyebabkan setiap otot di tubuh Anisa mengencang sehingga tubuhnya kejang-kejang tidak terkendali.
“Loh, Mar, kok sudah KO? Belum 10 menit kok udah orgasme? Wah, ini kalau cowok namanya EDI, ejakulasi dini. Kalau kamu berarti menderita ODI, orgasme dini. Ayo, terusin sampai aku keluar juga!”
Pak Andre mengganti posisi bersenggama dengan mengangkat tubuh Anisa dan menidurkannya di meja biliar. Kemudian kaki Anisa dibentangkan oleh Pak Andre lebar-lebar, dan dengan kekuatan penuh penis besar itu menerjang mendobrak “pintu kewanitaan” Anisa, sampai-sampai klitorisnya ikut tertarik masuk. Anisa yang masih dalam keadaan orgasme makin menggila menerima sodokan itu sehingga secara refleks Anisa mencakar bahu Pak Andre.
“Oouchh, Anisa, kamu ini apa-apaan sih, kok main cakar-cakaran segala?”
“Oouh aash sorry, habis Anisa enggak tahan sih sama sodokannya Mas yang begitu perkasa,” bujuk Anisa agar Pak Andre tidak marah.
“Jangan cakar lagi, ya! Kalau tidak, rasain ini!” Pak Andre menggigit puting Anisa dengan lembut tapi sedikit menyakitkan.
“Aauw nakal deh,” ucap Anisa sambil menggoyangkan pinggulnya sendiri agar penis Pak Andre tetap menggesek dinding vaginanya.
Dalam waktu singkat, Anisa yang mulanya seorang guru telah berevolusi menjadi pelacur kelas tinggi yang benar-benar profesional, baik dari segi kebinalan maupun ucapannya. Semua sudah berubah, Anisa kini benar-benar seorang pelacur sejati.