
Kisah Dengan Bosku
Sebenarnya, ini adalah kisahku yang baru saja terjadi, tepatnya sekitar tanggal 11 Juni. Namaku Annisa, anggap saja begitu—usia 23 tahun, dan saat ini aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang sedang tumbuh pesat. Aku benar-benar tidak pernah menduga bahwa aku baru-baru ini menjalin hubungan dengan seorang pria yang sudah menikah. Yang lebih mengejutkan, dia ternyata salah satu atasanku di kantor. Parahnya lagi, aku masih dianggap sebagai anak yang “terjaga” oleh keluargaku. Semua orang selalu bilang aku ini lugu dan polos, tapi tak ada yang menyangka bahwa di balik itu, aku bisa bertindak nakal atau bahkan nekat. Kisah ini berawal saat aku putus dari pacarku. Padahal dia pernah bersumpah akan setia dan menikahiku, tapi ternyata dia membatalkan janjinya dengan alasan yang bikin kesal: “Bosan.”
Sebenarnya, banyak hal yang sudah kami lalui bersama. Hubungan kami bermula dari berbagai aktivitas intim seperti petting, handjob, blowjob, dan oral. Namun, untuk seks, dia hanya melakukannya melalui jalur belakang kami belum pernah melakukannya secara vaginal. Mungkin karena dia khawatir aku hamil atau ada alasan lain. Meski begitu, aku tetap merasa bahwa kesucianku sudah ternoda, walaupun secara teknis vaginaku belum tersentuh organ pria. Jujur, aku sangat kecewa dan sedih dengan sikap pacarku itu. Di tengah kekecewaanku yang mendalam, saat itulah atasanku—sebut saja namanya Roni memanfaatkan situasi. Dia memang sudah lama sering menggodaku di kantor, dan aku selalu merasa tidak nyaman, apalagi mengingat dia sudah beristri. Tapi ternyata, aku mulai menyadari bahwa aku tidak sepolos yang kukira. Aku yang awalnya cuek dan dingin, perlahan mulai luluh. Memang benar, tak ada yang lebih mudah dirayu ketimbang wanita yang baru patah hati.
Aku merasakan itu saat ada acara pameran. Awalnya, dia menawarkan untuk mengantarku pulang dan mengajakku makan bersama. Hingga suatu hari, aku, dia, dan seorang rekan kerja perempuan menonton film bareng di bioskop. Di tengah film, dia memegang tanganku. Aku diam saja, dan itu membuatnya semakin percaya diri. Keesokan harinya, dia mengajakku makan malam di Wisma BNI, sekaligus menghadiri acara makan malam dengan salah satu mitra kerja. Sepanjang perjalanan, dia mulai berani memelukku, menyentuhku, dan mencium pipiku. Hari berikutnya lagi, sepulang kerja, kami pulang bersama. Dia mulai mencium bibirku, dan kami berciuman dengan penuh gairah. Tangannya pun mulai meremas dadaku. Aku membiarkannya, karena dalam hati aku tahu aku menginginkannya—terutama di saat aku masih terpuruk akibat pacarku yang menyebalkan itu.
Aku tahu hubungan ini akan terus berlanjut, dan benar saja, keesokan harinya saat kantor sedang sepi, kami mulai berciuman dengan penuh gairah. Biasanya, aku naik duluan ke lantai atas, lalu dia menyusul setelahnya, dan kami bekerja seperti tidak ada apa-apa. Aku sadar, kadang aku merasa sangat nakal. Suatu kali, aku sengaja turun ke lantai bawah, dan dia paham isyaratku. Tak lama kemudian, dia ikut turun, dan di depan toilet, kami kembali berciuman. Tangan kanannya—yang masih memakai cincin kawin menyentuh tubuhku dan memelukku erat, seolah dia tak merasa bersalah. Dia meraba kedua dadaku, bahkan menyentuh vaginaku. Yang lebih mengejutkan, dia berani menarik bajuku hingga bisa mengisap putingku. Aku sangat menikmatinya, dan aku tahu aku sudah gila. Aku tak bisa menghentikan ini—bahkan sampai sekarang, aku masih teringat betapa lihainya dia dalam hal ini.
Aku paham, sebagai selingkuhannya, hubungan ini harus dirahasiakan, terutama di kantor. Hanya sahabatku, Dina, yang sepertinya sudah curiga. Apalagi saat aku dan Dina menginap di hotel dekat lokasi pameran. Atasanku datang, dan seperti biasa, kami mengobrol. Ketika Dina masuk kamar mandi untuk mandi, kami langsung berciuman. Dia mencium seluruh tubuhku, meski hanya sebentar. Keesokan harinya, hal itu terulang lagi—kami berciuman di atas ranjang. Aku yakin Dina tahu tentang perselingkuhan ini, tapi dia memilih pura-pura tak melihat. Saat itu di hotel, ketika Dina sedang mandi lagi, kami kembali berciuman seperti biasa. Sayangnya, kami memang tak pernah sampai pada hubungan seks penuh.
Hari berikutnya berlalu, dan atasanku akhirnya mengundurkan diri. Sebelum resign, kami pergi berdua setelah jam kerja. Tentu saja, kami bebas saat itu. Di perjalanan tol, sambil menyetir, dia mencium bibirku dengan penuh gairah sambil mencoba melepas bajuku. Aku akhirnya setengah telanjang celana dalam dan celana panjangku terlepas, hanya bajuku yang tersingkap ke atas. Lalu, dia mengeluarkan kemaluannya dan memintaku untuk mengulumnya. Aku merasa risih dan malu pada awalnya meskipun aku pernah melakukannya dengan pacarku, ini terasa berbeda. Tapi akhirnya aku nurut, dan yang kutakutkan terjadi aku sangat menikmatinya. Aku mengulum milik Pak Roni dengan penuh kenikmatan, sengaja memasukkannya dalam-dalam, menjilat ujungnya berulang kali.
Saat memasuki tol, entah kenapa aku tiba-tiba menjadi agresif. Aku naik ke pangkuannya, menciumnya dengan liar hingga dia menepi di pinggir jalan tol. Jari tengah kanannya masuk ke vaginaku, dan tanpa kusadari, tanganku sudah meremas kemaluannya yang besar itu. Dia lalu memaksaku untuk berhubungan seks, tapi aku menolak keras karena takut hamil. Akhirnya dia menyerah. Kami mencari apotek yang masih buka, tapi tak ada yang ditemukan. Mungkin memang bukan rezekinya untuk “mendapatkan” keperawananku, hehe. Sampai di rumah, aku dimarahi habis-habisan oleh orangtuaku karena pulang larut. Andai mereka tahu aku baru saja bertingkah gila dengan pria beristri, mungkin mereka akan menghukumku mati-matian.
Hingga kini, aku masih menantikan kehadirannya di kantor, tapi dia tak kunjung datang. Dia sempat mengirim pesan bahwa dia akan kembali karena ada pekerjaan yang belum selesai sebelum resign. Aku merasa kesepian dan sangat merindukannya, terutama sentuhannya. Pak Roni, jangan tinggalkan aku begini. Aku ingin disentuh lagi, ingin selalu bersamamu. Aku sangat mencintaimu, apalagi setelah tahu kau resign karena aku. Sepertinya ada yang mulai curiga selain Desi yang sudah tahu tentang perselingkuhan kita. Mungkin atasan kita berdua juga sudah menyadarinya.