
Viral Kejadian 2023
Halo! Kenalin, aku Tasya. Teman-teman biasa manggil aku gitu. Aku lahir tahun ’85, jadi sekarang udah kepala empat, ya. Tinggi badanku lumayan jangkung buat cewek, sekitar 170 cm, dengan berat 49 kg. Rambutku lurus sebahu, wajahku lonjong, dan kulitku putih bersih, maklum, aku keturunan.
Sekarang aku masih kuliah di fakultas sastra, salah satu universitas swasta di Bandung. Aku ngekos nggak jauh dari kampus. Aku tipe cewek yang lumayan peduli penampilan, sering ke salon dan suka dandan modis. Makanya, udah nggak aneh kalau dapat tatapan iseng dari cowok-cowok di kampus, apalagi kalau aku pakai baju yang sedikit ketat atau seksi. Nah, kalau lagi dugem, udah pasti deh baju yang kupakai lebih terbuka lagi.
Jujur aja soal cinta, aku bukan tipe yang setia. Aku punya pacar yang lagi kuliah di Amerika, jadi kami jarang ketemu. Hubungan kami udah jalan tiga tahun lebih, dan aku sayang banget sama dia. Tapi ya, namanya juga darah muda, kadang aku kebablasan. Ada beberapa kali one-night stand sama teman kuliah atau teman dugem. Buatku sih, itu cuma hubungan fisik aja, nggak ngubah perasaanku ke pacarku.
Kisah yang mau aku ceritain ini terjadi pertengahan tahun 2024 lalu, pas liburan semester. Waktu itu, teman-teman kosku udah banyak yang pulang kampung. Di kos cuma tersisa aku, satu cowok, dan dua cewek lainnya. Dua temanku itu nggak pulang karena ikut semester pendek, nah, aku sendiri belum pulang karena orang tuaku lagi ke luar kota buat nikahan. Kakakku satu-satunya juga udah dua tahun lalu nikah dan ikut suaminya.
Jadi, aku mikirnya, mending tunda dulu pulangnya sampai papa mamaku balik, sekitar 2-3 hari lagi. Daripada sepi di rumah, mending aku seru-seruan aja sama teman-teman di Bandung. Malam itu, aku dugem di salah satu tempat di Ibukota. Teman-temanku pada nyuruh minum terus, padahal aku nggak kuat-kuat amat. Kata mereka sih, buat ngerayain IPK-ku yang naik.
Akhirnya, aku mabuk berat. Pas perjalanan pulang naik mobil temanku, aku udah nggak tahan pengen muntah, jadi numpang ke toilet di rumah Rika pas nyampe sana. Setelah muntah, kepalaku masih pusing banget. Aku minta Rika biar nginep semalam aja di rumahnya. Nggak enak kan, kalau pulang ke kos dalam keadaan sempoyongan gitu.
Singkat cerita, aku nginep di rumah Rika malam itu dan baru bangun besoknya, Minggu, sekitar jam sebelasan. Kepalaku masih agak berat.
“Kalian sih, nyuruh aku minum terus! Aduh, rasanya kayak mau mati kemarin tahu!” omelku ke Rika.
“Hihihi, nggak apa-apa lah Ni, sekali-kali aja. Kan kita baru selesai semester nih!” jawabnya sambil ketawa kecil, nginget keadaanku kemarin.
Setelah makan sedikit, Rika nganterin aku pulang ke kosku. Pas masuk gerbang kos, suasananya sepi banget, kayak beberapa hari terakhir. Di depan pos jaga, aku papasan sama Igun, penjaga kosku yang umurnya sekitar dua puluhan. Dia lagi ngobrol sama dua pemuda seumuran dia, aku nggak kenal siapa, mungkin teman-temannya warga sekitar sini. Aku senyum tipis aja sebagai basa-basi, dan mereka membalas senyumanku.
Aku bisa ngerasain banget mereka mandangin badanku yang masih pakai baju seksi semalam: rok putih sejengkal di atas lutut dan tank top berleher rendah yang sedikit memperlihatkan belahan dadaku. Aku percepat langkahku ke tangga. Di dekat tangga, aku papasan lagi sama pegawai kosku yang lain, si Cecep. Dia masih SMA, sekitar 16 tahunan. Orangnya agak culun, rambut cepak, dan kurus kering. Dia sering tugas beliin barang pesanan atau nganter makanan buat kami, penghuni sini.
“Eh… Neng, baru pulang yah!” sapanya sambil cengengesan.
Aku cuma jawab iya aja, terus buru-buru naik tangga. Instingku bilang dia berusaha ngintip rok miniku pas aku naik. Aku sengaja godain dia biar berani ngintip. Sempat terlihat sekilas pas aku sampai di lantai dua dan belok.
Sampai di kamar, aku langsung buka baju dan masuk kamar mandi. Langsung kubuka shower dan guyur badanku pakai air dingin. Seger banget rasanya! Udara di luar waktu itu lagi panas, ditambah lagi panas alkohol masih sedikit terasa di badanku.
Selesai mandi, aku keluar kamar mandi tanpa sehelai benang pun, sambil ngelap rambut pakai handuk. Kuambil celana dalam kuning, lalu kupakai. Aku nggak nemu baju barong yang biasa kupakai tidur di gantungan pintu. Baru inget, baju itu udah kutaruh di cucian.
Karena males nyari baju lain di lemari, aku langsung aja lempar diriku ke kasur. Biarin aja tidur cuma pakai celana dalam, apalagi cuacanya lagi panas banget, kipas angin juga kumatikan. Aku tutupi tubuhku pakai selimut dan kupeluk guling kesayanganku, buat lanjutin tidurku yang masih belum puas. Kepala juga masih sedikit pening, maklum lah, orang nggak kuat minum disuruh minum banyak ya gini nih jadinya.
Entah berapa lama aku tidur pulas banget, sampai kurasakan ada rasa geli di badanku. Refleks tanganku menepis dan kugulingkan badan ke arah lain. Tapi perasaan itu datang lagi, lebih kuat. Kali ini kurasakan juga di paha dan dadaku, seperti ada yang mengenyot.
Kali ini aku terbangun, dan kaget setengah mati pas lihat ternyata benar-benar ada orang yang lagi mengenyot dadaku dan seseorang lainnya menjilati pahaku.
Aku mengedip-ngedipkan mata, biar pandanganku jelas. Wajah-wajah itu nggak asing bagiku. Dua di antaranya adalah pegawai kosku, Igun dan Cecep. Dan dua lagi adalah teman-temannya yang kutemui di bawah tadi. Apakah aku sanggup melayani empat orang sekaligus, mengingat seumur hidup aku selalu “bermain” satu lawan satu?
Mungkin sekaranglah waktunya bagiku untuk mencoba rasanya “digangbang”. Seiring birahiku yang mulai naik, darahku berdesir, dan bulu-buluku merinding ketika tangan-tangan itu menggerayangi tubuhku. Ciuman dan jilatan juga menghujani tubuhku. Salah seorang teman Igun tadi menarik lepas celana dalamku.
Keempat orang itu menelan ludah menyaksikan keindahan tubuhku yang sudah telanjang bulat, terutama Cecep. Sepertinya ini baru pertama kali dia melihat tubuh wanita secara nyata.
“Anjrit, jembutnya lebat banget, euy!” kata Igun sambil merabai kemaluanku yang berbulu lebat tapi rapi. Memang sering kucukur rapi bagian pinggirnya biar nggak keluar-keluar kalau pakai baju renang seksi.
Teman Igun yang rambutnya gondrong sebahu menciumi payudaraku, digigit dan disedot-sedot putingku yang sensitif. Kuncian mereka terhadapku mengendur, dan tangan yang membekap mulutku juga sudah lepas. Kepalaku menggeleng-geleng ketika Igun mau menciumku, tapi dia lalu memegangi kepalaku sehingga aku tak bisa lagi menghindari mulutnya.
Rangsangan yang datang bertubi-tubi membuatku semakin horny, dan mulutku pun membuka, menerima serangan lidah Igun. Mau tak mau, aku harus beradaptasi dengan bau mulutnya. Kumainkan lidahku, mengimbangi lidahnya yang menari-nari di mulutku.
Ketika asyik berciuman dengan Igun, setidaknya ada dua jari yang bermain di vaginaku. Aku nggak tahu siapa itu, karena aku biasa memejamkan mata kalau berciuman biar lebih menghayati. Selain itu, tangan yang menggerayangiku ada empat pasang, jadi nggak sempat ngenalin satu per satu.
Igun menciumiku cukup lama, tangannya menjelajahi setiap lekuk tubuhku. Mungkin sekitar lima menit, begitu mulutnya lepas, aku akhirnya bisa bernapas lega lagi, walau napasku sudah memburu. Saat kubuka mata, kulihat di sebelah kananku, teman Igun yang bermata besar itu sedang mengenyot payudaraku dengan rakusnya. Dia sudah membuka pakaiannya, dan aku melihat penisnya yang sudah tegang menggantung di selangkangannya, bentuknya panjang dengan kepala yang sudah disunat.
Iihhh… geli sekaligus terangsang membayangkan aku harus mengulum dan dimasuki benda itu. Si Cecep sedang menjilat dan meraba tubuh bagian sampingku (sekitar perut, paha, dan dada). Dia masih memakai kaos oblongnya, tapi celananya sudah dibuka. Penisnya yang juga bersunat lumayan juga untuk anak seusianya.
Ternyata yang dari tadi mengorek vaginaku adalah si pemuda gondrong. Kini dia bahkan mendekatkan wajahnya ke sana, dan uuhh… lidahnya menyentuh bibir vaginaku. Rasanya menggelitik nikmat, membuat tubuhku menggeliat. Aku bingung apa yang kualami saat itu termasuk perkosaan atau bukan. Dibilang iya, bisa juga, karena awalnya mereka yang memaksa. Tapi dibilang tidak, juga bisa, karena toh aku juga mulai menikmatinya.
“Memeknya enak, wangi loh mmm… ssluurrpp!” sahut si gondrong di bawah sana.
“Oh, ya… nanti juga saya mau nyicipin yah, makannya cepet!” kata Igun.
“Jangan lama-lama yah, nanti kita kebagiannya bau jigong lu,” timpal si mata besar.
Kini Cecep sudah mencaplok payudaraku dengan mulutnya. Walau kelihatan culun, jilatannya membuat putingku makin menegang. Igun juga membuka pakaiannya hingga telanjang. Wah, anunya juga nggak kalah gede dari kedua temannya. Tinggal punya si gondrong saja yang belum kulihat, karena dia masih sibuk menjilat vaginaku. Aku harus mengakui, enak sekali diperlakukan seperti ini. Dalam seks satu lawan satu, aku tidak pernah merasakan bagian-bagian sensitifku dimainkan dalam saat bersamaan.
“Uuhh-eeemm…. aaahh!” aku tak tahan untuk tidak mendesah ketika lidah si gondrong menyapu bibir vaginaku. Bukan cuma itu, jarinya pun ikut keluar masuk di sana.
Hal itu berlangsung sekitar lima menit lamanya, kemudian Igun mengambil posisinya.
“Hayo sini, saya juga mau rasain, gantian dong!” katanya menyuruh si gondrong menyingkir.
Langsung Igun melumat bagian selangkanganku itu dengan bernafsu. Tangannya memegangi kedua pahaku sambil mengisap dan menjilat. Mulutnya terbenam di kerimbunan bulu kemaluanku, gayanya seperti makan semangka saja. Serangannya lebih mantap dari si gondrong yang cenderung monoton. Lidah si Igun sepertinya agak panjang, sehingga ketika menyusup ke dalam vagina, benda itu menyentuh klitorisku juga menjilati dinding kemaluanku. Kontan, aku pun makin menggelinjang tak karuan.
Ketiga orang lainnya tertawa-tawa dan berkomentar jorok melihat reaksiku. Mereka pun makin bersemangat mengerjaiku. Payudaraku sedikit nyeri ketika dipencet-pencet si mata besar dengan gemasnya. Si gondrong yang kini sudah membuka bajunya, berlutut di sebelahku, memegangi penisnya untuk disodorkan padaku.
“Diisep Neng, enak loh!” suruhnya sambil menggosokkan kepala penis itu ke wajah dan bibirku.
Walau sebenarnya geli dengan kemaluannya yang hitam dengan kepala kemerahan itu, aku tertantang juga untuk mencobanya. Maka, kugenggam batang itu dengan tangan kiri dan kuawali dengan menyapukan lidah pada kepala penisnya. Dia langsung mendesah keenakan karenanya. Entah kekuatan apa yang membuatku demikian liar, padahal sebelumnya dekat-dekat orang seperti mereka saja aku enggan, apalagi untuk ML.
Awalnya aku sangat tidak nyaman dengan aroma penisnya, namun mau tidak mau aku harus membiasakan diriku. Aku berusaha tidak menghirupnya dan kuemut dalam mulut sambil sesekali mengocok dengan tangan. Kesempatan itulah yang kupakai untuk mengambil udara segar. Sementara rasa geli pada vaginaku kian menjalari tubuhku, rasanya seperti mau pipis.
Tubuhku menggelinjang, aku tidak tahan lagi dan mencapai orgasme pertamaku. Dari vaginaku keluarlah lendir yang dijilatinya dengan lahap.
“Eh-eh, gantian dong, saya juga mau ngerasain pejunya si Neng!” kata si Cecep.
Cecep menggantikan posisi si Igun. Dia menjilati sisa-sisa cairan kemaluanku. Jilatannya tidak selihai Igun, maklum karena dia masih hijau, baru pertama kalinya menikmati wanita. Dia lebih suka menyentil-nyentil klitorisku dengan lidahnya yang memberi rasa geli.
Igun kini berlutut di sampingku, meraih tanganku dan menggenggamkannya ke penisnya. Keras dan hangat, itulah kesan pertamaku saat jari-jariku melingkari batang itu. Mulailah aku mengocok penis itu dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegangi milik si gondrong sambil mengulumnya. Si mata besar masih menyusu dengan nikmatnya pada payudaraku, sepertinya dia ketagihan dengan montoknya payudaraku.
Cecep tidak lama menjilati vaginaku. Posisinya digantikan oleh si mata besar yang tak sabar menunggu giliran, karena paling kecil, dia pun mengalah pada temannya. Si mata besar mencium vaginaku dengan bernafsu dan terkesan terburu-buru. Aku dibuatnya semakin bergairah melayani kedua penis yang menodongku, secara bergantian kukocok dan kuulum, meniru apa yang pernah kulihat di film porno di rumah temanku.
Rasa jijikku pada penis hitam yang kepalanya seperti jamur itu perlahan sirna. Igun mengungkapkan ekspresi nikmatnya dengan meremas payudaraku yang digenggamnya, sedangkan si gondrong, sambil menekan-nekan penisnya ke mulutku ketika gilirannya diulum, seolah tidak rela melepaskannya.
Ditambah lagi Cecep sedang asyik memainkan putingku. Benda mungil berwarna merah kecokelatan itu dia pilin-pilin dengan jarinya, sesekali juga dijilati. Si mata besar pun tidak lama-lama menjilati vaginaku. Dia lalu bangkit, berlutut di antara kedua pahaku, dan menempelkan kepala penisnya di bibir vaginaku.
Kuhentikan sejenak aktivitasku terhadap dua penis dalam genggamanku untuk memperhatikan penis si mata besar mendesak memasuki vaginaku. Kutahan napasku sambil menggigit bibir, proses penetrasi itu kuresapi dalam-dalam. Setelah masuk sebagian, dia menghentakkan pinggulnya sehingga penis itu menghujam sampai mentok. Spontan aku pun menjerit kecil dan merapatkan pahaku.
“Waaah… enak pisan, sempit oi!” katanya setelah berhasil membobol vaginaku.
Tanpa buang waktu lagi, dia menggenjotku. Penis itu keluar-masuk vaginaku. Aku meneruskan kocokanku terhadap si gondrong dan Igun. Rasa nikmat yang menjalari tubuhku semakin membuatku bersemangat mengocok kedua penis itu. Si Cecep juga makin seru mengisapi payudaraku sampai basah kuyup oleh ludahnya, juga oleh ludah orang-orang yang tadi mengisapnya.
Tak lama kemudian, ketika aku sedang mengulum penis Igun, sesuatu yang basah dan hangat menerpa wajah dan leherku dari samping. Ow, ternyata si gondrong sudah “keluar”. Kulepas sejenak penis Igun dari mulutku. Semburan berikutnya makin membasahi wajahku begitu aku menengok menghadap todongan benda itu.
“Uhh… isepin yah Neng!” lenguhnya seraya menjejali mulutku dengan penisnya.
Dalam mulutku, penis itu masih menyemburkan isinya dan itu kuhisapi tanpa memikirkan rasa jijik lagi, walaupun baunya agak menyengat. Mungkin karena saking terangsangnya sampai tidak sadar aku jadi seliar itu. Sampai sejauh ini, ponselku yang kutaruh di meja sana sudah berdering sekali dan dua SMS sudah masuk. Kubiarkan saja, karena tanggung. Aku dapat merasakan penis si gondrong menyusut dalam mulutku dan pemiliknya terengah-engah.
“Yee, payah lu, belum nojos udah ngecrot!” ledek Igun pada temannya.
“Enak pisan sih anjrit, sampai nggak tahan!” balas si gondrong.
Sekarang si mata besar mengajak ganti posisi. Mereka lalu membalikkan tubuhku hingga telungkup. Akhirnya ganti posisi juga, pikirku. Aku sudah gerah dari tadi berbaring telentang sambil dikerjai mereka. Punggungku panas sekali rasanya dan benar saja, keringatku sudah membasahi sprei di bawahku tadi. Perutku diangkat dari belakang hingga posisiku seperti merangkak. Kutengokkan kepalaku ke belakang dan kulihat si mata besar kembali memasukkan penisnya ke vaginaku.
Tusukan-tusukan kembali kurasakan, kali ini lebih cepat dan dalam. Di depanku, si Cecep berlutut, meminta giliran merasakan mulutku. Aku pun membuka mulut mempersilakan batang itu memasukinya. Kuulum benda itu tanpa menghiraukan lagi baunya, tidak terlalu besar tapi cukup keras, namanya juga barang ABG. Aku melirik ke atas, melihat anak itu merem-melek menikmati kulumanku. Lucu juga reaksinya yang amatiran itu.
“Gimana Cep, asyik nggak diemot kontolnya?”
“Si Cecep udah gede euy!”
Celotehan-celotehan yang ditujukan pada si Cecep itulah yang sempat kudengar waktu itu. Sambil terus mengulum Cecep, aku pun selalu menggoyang pantatku mengikuti genjotan si mata besar. Terus terang, rasanya enak sekali seperti diaduk-aduk. Payudaraku yang menggelayut sedang dipegang-pegang si gondrong yang sedang mengistirahatkan penisnya. Tangan kananku menggenggam penis si Igun dan mengocoknya pelan.
“Pelan-pelan aja kocoknya Neng, nggak pengen cepet-cepet ngecrot sih!” demikian katanya.
Sibuk sekali aku jadinya, dan udara sekitarku serasa makin panas karena dikerubuti empat orang ini. Mana badannya lumayan bau lagi. Hanya birahi yang meninggilah yang mengalihkanku dari semua itu.
Sekitar lima belas menit menggenjotku, si mata besar sepertinya mau “keluar”, kelihatan dari sodokannya yang makin cepat.
“Annjjiiinngg… aaahhh!” lenguhnya panjang diiringi semburan spermanya di dalam vaginaku yang tak bisa kutolak.
Sialan juga nih orang, pikirku. Sembarangan main buang di dalam, nggak minta izin atau omong dulu kek, padahal nggak pakai kondom. Untung waktu itu aku tidak dalam masa subur, kalau iya kan amit-amit harus hamil sama orang-orang ginian. Begitu penisnya lepas, aku merasa cairan hangat meleleh membasahi paha atasku.
Igun langsung mengambil alih posisinya, menusukkan penisnya padaku seolah dapat membaca apa yang ada dalam hati kecilku yang masih ingin digenjot karena belum mencapai klimaks alias tanggung. Si Cecep yang masih kuulum nampaknya makin menikmati saja, tanpa sadar dia memaju-mundurkan pinggulnya seakan sedang menyetubuhi mulutku. Dia mengeluarkan spermanya dalam mulutku saat Igun menggenjotku dengan ganasnya sehingga aku tidak bisa konsentrasi mengisap penis itu, maka cairan itu pun meleleh sebagian di pinggir bibirku.
Setelah Cecep melepas penisnya yang telah kubersihkan dari mulutku, lengan Igun mengangkat dadaku sehingga kini aku berlutut. Igun tidak berhenti menggenjotku sambil menopang tubuhku dengan lengannya yang melingkari perutku. Si mata besar, sambil mengistirahatkan senjatanya, menggerayangi payudaraku yang membusung dalam posisi itu.
Si gondrong memintaku kembali mengulum penisnya yang sudah mulai bangkit lagi, sepertinya dia suka dengan pelayanan mulutku. Kugenggam penisnya yang disodorkan padaku. Ih… masih lengket-lengket bekas spermanya tadi, sedikit jijik aku dibuatnya namun juga tak kuasa menolaknya. Serta merta kumasukkan benda itu ke mulutku, kujilati sisa-sisa spermanya hingga bersih. Di dalam mulutku benda itu semakin mengeras dan bergetar.
“Pelan-pelan aja Neng, buat persiapan ngejos di bawah nanti!” katanya.
Tak lama kemudian tubuhku kembali mengejang, seperti ada yang mau meledak di bawah sana. Aku melepas kulumanku untuk melepaskan desahan yang tak bisa kutahan lagi. Lendirku pun kembali keluar bersamaan dengan tubuhku. Orgasme kali ini terasa lebih panjang. Igun masih menggenjot sampai 2-3 menit kemudian hingga akhirnya dia pun menghujam penisnya lebih dalam dan mempererat pelukannya.
Dia menggeram dan memuntahkan spermanya ke dalam vaginaku, hangat kurasakan di dalam sana. Kami break sebentar sekitar lima menitan. Saat itu Igun dan Cecep memperkenalkan dua orang itu kepadaku. Yang gondrong namanya Memet, dan yang matanya melotot itu namanya Ipul. Memang benar, keduanya adalah teman mereka yang tinggal di pemukiman penduduk tak jauh dari sini.
Igun juga bercerita bagaimana mereka bisa masuk sini. Ternyata mereka iseng mengintipku waktu keluar dari kamar mandi tanpa busana tadi lewat lubang angin di atas pintu kamarku dengan memakai bangku tinggi. Tadinya sih hanya sekadar mau ngintip, tapi tak lama kemudian waktu Memet dan Ipul mau pulang, mereka ingin ngintip yang terakhir kali dan menemukanku telah terlelap hanya dengan memakai celana dalam dan selimut yang tersingkap.
Situasi kos yang sedang sepi dan nafsu setan mendorong mereka berencana memperkosaku. Maka, setelah yakin aku benar-benar tidur, Igun mencongkel kaca nako yang tepat di sebelah pintu lalu meraih grendel sehingga mereka bisa masuk dan terjadilah seperti ini.
Aku sebenarnya marah mendengar semua itu. Lancang sekali mereka berbuat begitu, ini kan pemerkosaan namanya. Tapi mau marah bagaimana juga, toh aku menikmatinya. Salahku juga berpakaian mencolok di depan mereka. Aku menatapi mereka satu-persatu yang memandangi tubuh telanjangku dengan tatapan kesal sekaligus berhasrat. Tidak tahu mau omong apa deh, soalnya perasaanku benar-benar campur aduk sih.
“Bentar yah, mau cuci muka dulu,” kataku sambil bangkit dan melangkahkan kakiku dengan gontai ke kamar mandi.
Di sana aku mencuci mukaku dari cipratan sperma agar aroma yang menyengat itu hilang. Keluar dari kamar mandi, kembali aku duduk di kasur dikelilingi mereka. Sudah tanggung untuk dihentikan, jadi kuikuti saja deh permainan mereka. Kali ini si Cecep yang masih hijau itu minta diajari ciuman.
“Boleh yah Neng, soalnya saya pengen ngerasain dicium cewek itu kayak apa sih, apalagi cewek cakep kaya Neng,” pintanya. Mukaku memerah karena malu dan juga tersanjung akan pujiannya.
“Cium-cium-cium!” teman-temannya yang lain menyorakinya.
“Sssttt… jangan keras-keras dong, ada yang tahu gimana!” kataku memperingatkan sehingga mereka mengurangi volumenya.
Aku memejamkan mataku seperti kebiasaanku berciuman, menunggu Cecep menciumku. Pertama-tama aku merasa bahuku dipegang lalu menempellah bibirnya dengan bibirku. Teknik ciumannya benar-benar amatiran, kaku dan membosankan sekali, sehingga aku yang berinisiatif memainkan lidahku baru dia mulai bisa membalasnya. Aku melingkarkan tangan memeluknya dan percumbuan kami makin panas.
Selama percumbuan itu juga aku merasakan tangan-tangan lain berkeliaran di sekujur tubuhku, mengelusi punggung, paha, payudara, dll. Tidak jelas siapa yang melakukan karena aku memejamkan mata. Yang jelas darahku mulai bergolak lagi karena belaian ditambah komentar-komentar jorok mereka. Ada seseorang memelukku dari belakang dan menjilati leherku, oohh… benar-benar sensasional, demikian rasanya pertama kali dikeroyok.
Lama juga aku berciuman sambil digerayangi, napasku sampai naik-turun nggak karuan karenanya. Setelah itu si Memet gondrong meminta jatahnya. Dia berbaring telentang dan menyuruhku membenamkan penisnya pada vaginaku. Aku pun naik ke atas penisnya. Benda itu kugenggam dan kueluskan pada kemaluanku dulu supaya nafsu si Memet mendidih. Kemudian baru aku mulai menjebloskannya perlahan-lahan.
“Ahhh… eeegghh!” desahku saat memasukkan penis itu. Aku memejamkan mata dengan bibir membuka.
Setelah terasa mentok, aku pun perlahan menaik-turunkan tubuhku. Memet juga mendesah kenikmatan karena penisnya dihimpit dinding vaginaku.
Gerak naik-turunku semakin cepat sehingga payudaraku ikut bergoncang-goncang. Dengan aku yang memegang kendali, si Memet kelihatan kelabakan, dia mendesah-desah nggak karuan. Kelihatan sekali pengalaman seksnya masih di bawahku. Dia julurkan tangannya meraih payudara kiriku, sepertinya dia gemas melihat payudaraku yang juga naik-turun itu.
Dua orang lainnya duduk menonton liveshow kami. Igun sebelumnya telah turun ke bawah untuk memeriksa keadaan dan berjaga-jaga di pos jaga dekat gerbang. Tak lama kemudian si Ipul mendekatiku dan berdiri di sebelah menyodorkan penisnya yang langsung kugenggam.
Saat itu aku berada di atas, bergaya woman on top sambil tanganku mengocok penis Ipul. Ternyata, dia tidak sekuat yang kukira. Tampang boleh sangar seperti preman, tapi dia orgasme dalam waktu yang relatif singkat. Isinya tumpah ruah di dalam vaginaku. Aku paling suka bercinta di saat aman begini, bebas dari rasa was-was meskipun pasanganku “buang” di dalam.
Tanpa malu lagi, kupanggil si Cecep untuk menuntaskan birahiku. Aku duduk di kasur, membuka kedua pahaku seakan mempersilakan anak itu menusuknya. Aku harus membimbing penisnya memasuki vaginaku, karena ini adalah yang pertama baginya.
Setelah kepalanya menekan bibir vaginaku, kusuruh dia mendorong pantatnya. “Ohhh… yess!” desahku ketika penis perjaka itu menghujam ke dalam.
Selanjutnya, yang kurasakan adalah gesekan-gesekan antara penisnya dengan dinding kemaluanku. Cecep pun semakin menikmati persetubuhan pertamanya itu, makin cepat menusuk-nusukkan penisnya, hingga akhirnya kami berdua orgasme bersama, berkat bimbinganku dalam mengatur tempo genjotan.
Sisa waktu sekitar sejam lebih ke depan, aku terus dicumbu mereka, baik secara bergantian maupun bersamaan. Hingga akhirnya kami semua pun kelelahan, bersimbah peluh. Wajahku sekali lagi belepotan sperma karena salah seorang membuangnya di sana saat orgasme.
Sejak kejadian itu, mereka sering memintaku melakukan hal yang sama lagi, terutama Cecep dan Igun. Terkadang permintaannya agak memaksa juga. Memang sih, awal-awalnya aku cukup menikmati, tapi lama-lama kesal juga karena mereka makin tidak tahu diri. Misalnya, pernah suatu malam Igun mengetuk pintu, minta jatah lagi, sampai mengganggu tidurku.
Aku sampai pernah marah dan mengancam akan melapor ke pemilik kos, sehingga mereka agak ketakutan. Apalagi setelah Igun keceplosan ngomong tentang itu ke pamannya yang menjenguknya dari kampung, sehingga pria paruh baya itu juga sempat minta jatah padaku (kalau sempat akan kuceritakan juga).
Aku tidak ingin hal ini tercium ke mana-mana, apalagi sampai ‘kecelakaan’ gara-gara mereka. Maka, kuputuskan setelah sewa kosku habis bulan itu, aku pindah ke kos lain yang agak jauh dari tempat itu hingga saat ini. Terkadang terbesit di benakku ingin mengulangi lagi momen “keroyokan” seperti itu, tapi ah… tidaklah. Terlalu berisiko tinggi terhadap citra dan kesehatan nantinya.